1

498 49 182
                                    

"Jangan lupa lusa kita ketemu sama cast utama ya?" Arif memastikan sekali lagi sebelum Sherina dan Sadam meninggalkan ruangannya.

"Jam sembilan kan?" Sadam pura-pura menatap jengah ketika dia mengibaskan tangannya sebelum membuka pintu. Membiarkan Sherina keluar lebih dulu.

"Eh, Dam. Bentar-bentar." Suara Arif membuat Sadam yang sudah selangkah keluar ruangan itu langsung berhenti.

"Apa lagi siih?" Sadam berusaha sabar.

Tapi Arif justru terkekeh sambil meraih paper bag yang dari tadi ia letakkan di balik meja kerjanya. "Titip buat Suri." Katanya menghampiri temannya itu, membuat rasa jengkel yang sekejap lalu dirasakan Sadam seketika sirna.

Sadam tersenyum, diam-diam tersentuh pada perhatian Arif untuk putrinya. Ya, sejak kehadiran Suri tujuh tahun yang lalu, Arif seolah ikut menjadi ayah bagi putri kecilnya itu. Sahabatnya itu begitu memanjakan Suri sampai-sampai gadis kecil itu akan sangat kesal kalau Arif tidak meluangkan waktu untuknya saat pria itu sedang berada di Sydney.

"Makasih ya, Rif. Suri pasti suka." Sadam terdengar tulus. "Gue balik dulu ya." Pria itu sudah hendak berlalu tapi sekali lagi temannya itu menahannya. "Apa lagi sih, Rif?" Kali ini Sadam hampir tak bisa menyembunyikan kekesalannya. "Lo kalau mau ngomong tuh sekalian jangan sepotong-potong gitu."

"Galak amat kayak mbak-mbak independen lagi PMS." Goda Arif. "Bilangin ke Suri kalau itu cuma hadiah selamat datang aja buat dia. Nanti kalau om Arif nya ini main ke rumahnya..."

"Rif, iya. Nanti gue bilangin ke Suri semuanya. Kalau perlu nanti gue telepon biar lo bisa ngomong sendiri sama dia, oke? Gue ada urusan penting sekarang. Gue duluan. Salam buat nyokap lo." Kata Sadam buru-buru meninggalkan teman baiknya itu.

Sadam melangkah cepat menuju lift. Sial, kenapa letak ruang kerja Arif harus di ujung terjauh dari lift itu. Dan kenapa Sherina berjalan secepat itu. Tidak bisakah gadis itu menunggunya sebentar supaya Sadam tak perlu terburu-buru seperti ini?

Pria tampan itu terus menggerutu dalam hati sampai akhirnya ia berbelok dan mendapati Sherina sudah berdiri di salah satu pintu lift itu bersama beberapa orang. Sadam bahkan setengah berlari ketika ia mendengar suara berdenting menandakan bahwa lift itu berhenti di lantai ini. Ia terlihat semakin panik ketika mendapati Sherina menunggu gilirannya masuk lift.

Tapi sepertinya dewi fortuna sepertinya sedang berpihak pada Sadam. Lift itu terlalu penuh sehingga mau tak mau membuat Sherina harus menunggu lagi. Sadam berdehem sekali ketika kini ia berdiri di samping gadis itu. Berdehem sekedar untuk menenangkan dirinya sekaligus memberitahu Sherina bahwa ia kini sudah ada di dekat gadis itu. Membuat gadis itu tersenyum canggung menanggapi.

Sadam lantas berinisiatif memencet tombol lebih dulu ketika kini mereka sudah ada di depan pintu lift. Ada jeda sepi yang terjaga sampai akhirnya bunyi denting itu sekali lagi terdengar.

Keduanya bahkan tampak salah tingkah ketika begitu pintu lift terbuka mereka hendak masuk bersamaan.

"Sorry." Sadam akhirnya mengalah ketika dia mempersilahkan Sherina masuk lebih dulu. Pria itu kemudian menyusul berdiri di samping Sherina. "Lantai berapa, Sher?" Sadam memastikan ketika dia baru saja memencet angka 1 di dekat pintu.

Sherina melirik angka itu sebelum sekali lagi tersenyum kikuk menatap Sadam. "Sama." Katanya menunjuk angka itu.

"Oh, iya. Sama." Sadam menggaruk pelipisnya yang tak gatal kemudian diam-diam merutuki dirinya sendiri.

Perjalanan dari lantai dua belas itu terasa lebih lambat dari biasanya dengan hanya keheningan yang kembali menyelimut mereka. Sherina berkali-kali mencoba membenarkan posisi tas yang sudah tersampir dengan benar di pundaknya. Sementara Sadam berusaha tidak terlalu terlihat gelisah ketika ia menatap ke segala arah ruang sempit itu kecuali pada gadis cantik di sampingnya.

"Mm, Sher."

"Hm?" Sherina menanggapi cepat. Terlalu cepat, membuat perempuan itu memaki dirinya sendiri dalam hati karena terlalu responsif.

Sadam sudah hendak berbicara lagi ketika lift itu perlahan berhenti dan angka digital berwarna merah itu menunjukkan angka lima. Ada enam orang yang masuk begitu pintu terbuka. Membuat Sadam dan Sherina mau tak mau mundur memberi ruang untuk yang lain. Dan sialnya itu memperlebar jarak diantara keduanya.

Tapi itu justru membuat Sadam punya kesempatan untuk memperhatikan gadis itu dari jauh. Ya, Sadam menatap gadis itu dari samping. Diam-diam memperhatikan setiap lekuk garis wajah cantik itu dengan seksama. Dan dia menemukan bahwa itu masih sama seperti yang terakhir kali dia ingat. Ekor mata yang sempat membuat Sadam tak bisa tidur, ujung hidung yang selalu membuat Sadam ingin menyentuhnya sejak dulu, sudut bibir yang..

Pintu lift yang terbuka akhirnya membuat ingatan masa lalu Sadam terhenti. Orang-orang yang tadi berdiri di antara dia dan Sherina pun bergerak meninggalkan benda kubus itu membuat Sadam buru-buru menatap ke depan berusaha wajar.

"Dam, duluan ya?" Sherina menyapanya sambil tersenyum. Senyum yang sama dengan waktu itu yang lagi-lagi membuat Sadam terpaku.

Begitu tersadar, Sadam buru-buru keluar mencoba menghampiri Sherina. "Sher. Tunggu." Panggilnya begitu menemukan bahwa perempuan itu berada tak jauh darinya.

"Ya?" Sherina menatap bingung ketika mendapati Sadam melangkah cepat ke arahnya. "Kenapa, Dam?"

Pria itu berusaha terlihat wajar ketika kini mereka sudah berhadapan. "Kamu, setelah ini ada acara lagi nggak?"

Sherina meraih ponsel di sakunya dan mengecek jam disana. "Rencananya sih habis ini mau belanja bulanan. Kenapa, Dam?"

"Mau ngopi dulu nggak? Maksudku, kita kan udah lama nggak ketemu. Nggak pengen ngobrolin apa gitu?" Sadam terdengar tidak yakin di akhir kalimatnya. Pria itu bahkan diam-diam memperhatikan raut wajah Sherina berharap perempuan itu menerima ajakannya.

Sherina sempat diam sesaat sebelum kemudian dia menatap Sadam sambil tersenyum. "Boleh." Katanya membuat Sadam lega.

**********

DESTINYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang