"Riif." Sadam menatap temannya yang baru saja berdiri di depannya.
"Dam, kan udah gue bilang tiap orang tuh jatahnya dua doang. Ini lo ugal-ugalan banget tiba-tiba minta jatah tambahan empat undangan lagi. Mau jadi calo lu?" Arif menghampiri meja kerjanya, meninggalkan Sadam yang terlihat putus asa menatapnya dari sofa tempat mereka baru saja selesai berbicara.
"Ya kan semakin banyak yang diundang bakalan semakin banyak yang dateng. Siapa tahu dari salah satunya ada yang minat invest kesini. Iya kan?"
Arif menghela nafas. Menyadari kalau apa yang diucapkan Sadam barusan ada benarnya. "Ya tapi nggak sebanyak itu juga kali, Dam. Lo tahu kan kita cetak undangan udah sesuai list buat menekan pengeluaran." Pria itu mencoba memberi pengertian. "Emang mau ngundang siapa aja sih sampai lo bela-belain kayak gini? Jangan ngibul dengan bilang ini buat nyokap bokap lo sama Suri." Pria bermata sipit itu memotong cepat. "Orang gue kemaren teleponan sama nyokap lo dia bilang baru bisa balik ke Indonesia kalau rumah Jakarta udah jadi."
"Hah? Lo ngapain teleponan sama nyokap gue?" Sadam menatap curiga.
"Prospek buat jadi bapak tiri lo." Arif menjawab sekenanya sambil matanya tertuju pada setumpuk laporan yang tadi pagi diletakkan Andin mejanya. Pria itu lalu duduk di kursi kerjanya dan mulai membaca tumpukan kertas itu dengan seksama.
Sadam terbahak menanggapi lelucon temannya itu."Sialan lo."
"Ya lo nanyanya kayak yang gue nggak pernah telepon nyokap lo sama sekali." Cibir Arif meraih pulpen di mejanya lalu mulai menandatangi beberapa lembar kertas-kertas tadi. Ia kemudian memencet tombol intercom pada pesawat telepon di dekatnya.
"Ya, Pak Arif?" Andin terdengar ramah ketika menjawab panggilan itu.
"Ke ruangan saya bentar, Ndin."
"Baik, Pak." Jawaban Andin itu membuat Arif kemudian memutus sambungan tersebut lalu kembali menatap Sadam. "Dam, lo tau kan kalau kita tuh cetak undangan sejumlah list? Ya nggak bisa dong kalau tiba-tiba begini."
"Oke gini." Sadam terdengar hampir benar-benar menyerah. "Kasih gue dua lagi aja. Jadi gue punya empat."
"Terus yang dua lagi mau lo gimanain?"
"Ya, gampang lah biar gue atur nanti. Yang penting lo beneran ngasih gue tambahan dua undangan lagi. Gimana?"
Arif memijit kedua sisi dahinya bersamaan dengan suara ketukan pintu. Andin tersenyum ramah menatap atasannya dan Sadam.
"Ndin, ini tolong kamu kirim hari ini juga ke emailnya Pak Hadi. Nanti malem biar bisa saya bahas sama beliau di rumah." Arif menyerahkan draft tadi pada orang kepercayaannya itu.
Andin mengangguk sopan menerimanya. Perempuan yang lebih muda dua tahun itu mengecek sekilas memastikan bahwa Arif sudah benar-benar menandatangani semua yang diperlukan. Setelah yakin bahwa atasannya itu tak melewatkan satu pun, Andin kembali tersenyum ramah. "Saya permisi dulu, Pak."
"Eh bentar-bentar." Arif memberi jeda ketika ia menggaruk dahinya yang tak gatal sambil mengernyit sekilas. "Yang ngurusin undangan gala premiere film cinta pertama masih si Bowo kan?"
"Masih, Pak. Tapi dari kemarin Mas Bowo nya lagi ijin nggak masuk karena harus ke pemakaman saudaranya yang baru meninggal di Pangkalpinang jadi untuk sementara saya koordinasinya sama asistennya dia."
"Bowo bukannya orang Jawa Timur ya?" Arif menatap heran sekretarisnya itu.
"Kurang tahu ya, Pak. Tapi yang saya denger emang ibunya orang bangka belitung."
Arif mengangguk paham. "Eh, kamu tolong tanyain ke asisten itu apa masih bisa saya nambah dua list undangan lagi."
"Baik, Pak. Nanti saya tanyakan."Andin sekali lagi tersenyum ramah. "Ada lagi, Pak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
DESTINY
FanfictionJika kau mencintainya, lepaskan. Biarkan ia bahagia dengan hidupnya. Tapi jika ia kembali maka ia milikmu selamanya. Karena cinta selalu punya cara untuk menemukan jalan pulang DISCLAIMER : This is a work of fiction. Unless otherwise indicated, all...