Sherina hanya bisa mendengus kesal ketika ia mendengar sepupunya terbahak begitu ia selesai menumpahkan kekesalannya pada gadis itu.
"Gue sumpahin keselek baru tau lo." Sherina memaki membuat tawa Hilya semakin menjadi.
"Sorry-sorry." Hilya berusaha berbicara tenang di ujung tawanya. Perempuan itu mengamit ponsel diantara pundak dan telinganya sementara ia mengeluarkan roti bolu berbentuk bulat yang baru matang itu dari oven. "Ya terus lo mau gue gimana, Sheer? Toh yang gue ceritain ke papa juga sesuai kan sama yang lo ceritain ke gue?"
"Ya tapi kenapa harus cerita ke om Hari sih, Yaa?" Sherina terdengar gemas. "Mana tadi dia ngomongnya kenceng banget lagi. Depan ayah pula." Katanya bersungut kesal. "Lo tau? Sepanjang jalan dari depan kompleks sampai rumah ayah ngeliatin gue sama Sadam udah kayak tersangka pembunuhan."
"Loh, om Darmawan ikut mobil Sadam?" Hilya kini memegang kembali ponselnya.
"Iya." Sherina terdengar kesal. "Mana dia minta duduk depan lagi. Kan gue jadi nggak enak sama Sadam."
Sepupu Sherina itu kembali tertawa keras. Membayangkan situasi konyol dan canggung ketika ayah Sherina yang penyabar itu memaksa untuk satu mobil dengan Sherina dan Sadam.
"Nggak enak karena bokap maksa duduk di depan atau karena lo jadi nggak bisa berduaan di mobil sama Sadam?"
"Tau ah." Kata Sherina semakin kesal ketika Hilya kembali terbahak.
Perempuan itu lantas menghampiri jendela kamarnya yang menghadap langsung ke taman belakang. Ia tersenyum menatap tempat yang dulu selalu menjadi area favorit mendiang ibunya itu masih tetap hijau dan rapi. Membuat Sherina bersyukur bahwa ayahnya tak berusaha menyingkirkan kenangan tentang ibu walau hanya untuk mengurangi sedikit kesedihannya karena kehilangan belahan jiwanya tersebut.
"Eh, Sher udah dulu ya. Gue mau frosting dulu nih."
"Gue belum selesai ya ini marah-marahnya." Sherina tak terima.
"Iyee tau. Nanti aja dilanjutin kalau lo udah di Jakarta." Goda Hilya. "Sekarang biarkan gue bekerja dengan tenang biar dapet banyak duit. Kan siapa tau bentar lagi gue perlu nyumbang di nikahan lo sama pak duda."
"Hilya!" Sherina menjerit tertahan menumpahkan kekesalannya tepat saat Hilya mengakhiri sambungan mereka. Membuat perempuan itu hanya bisa menatap kesal pada ponselnya yang kini sudah tak terhubung dengan sepupunya itu.
"Sher?" Suara Pak Darmawan terdengar lembut dari balik pintu yang tertutup itu.
"Ya, Yah?" Sherina berusaha terlihat wajar sebelum ia menghampiri pintu dan membukanya. Perempuan itu lalu tersenyum menatap ayahnya.
"Loh? Kok di kamar? Panggilin Sadam, ajakin masuk."
Ada rasa panik yang tiba-tiba menyerang perempuan itu. "Ayah." Sherina menahan lengan ayahnya yang sudah hendak berlalu. "Ayah mau ngapain?"
Pak Darmawan menatap bingung pada putrinya. "Mau ganti baju sekalian ngambil cilor di dapur?"
"Oh." Sherina tampak sedikit rileks menanggapi.
"Udaah buruan suruh masuk sini Sadamnya. Kasian itu dia dari tadi sendirian di ruang tamu." Pak Darmawan tersenyum lembut. "Ayah tunggu di taman belakang ya?"
Sherina diam-diam berusaha menyembunyikan perasaan lega nya mendengar perkataan ayahnya tersebut. Perempuan itu kemudian menutup pintu kamar dan sudah beberapa langkah menuju ruang tamu ketika ia mendengar pak Darmawan sekali lagi memanggilnya.
"Ya, Yah?"
"Langsung ajak masuk tamunya ya, Nak. Jangan diajak ciuman dulu di depan."
"Ayah!" Sherina menghentakkan kakinya kesal ketika wajahnya bersemu merah menatap sang ayah yang terbahak menuju dapur.
KAMU SEDANG MEMBACA
DESTINY
FanfictionJika kau mencintainya, lepaskan. Biarkan ia bahagia dengan hidupnya. Tapi jika ia kembali maka ia milikmu selamanya. Karena cinta selalu punya cara untuk menemukan jalan pulang DISCLAIMER : This is a work of fiction. Unless otherwise indicated, all...