14

375 34 466
                                    

"Apa??!! Lo biarin Sadam sama Suri pergi bertiga doang sama cabe-cabean busuk itu??!!"

Sherina terbahak mendengar bagaimana sepupunya itu menyebut Ditha. "Mulut lo ya, Ya. Anak orang lo katain cabe-cabean busuk."

"Bwodo amat. Terserah gue mau nyebut apa perempuan kegatelan macam dia. Mulut-mulut gue ini." Kata Hilya berapi-api. "Lagian lo juga kenapa bego banget sih, Sher?"

"Heh!! Gue sambelin juga lama-lama itu mulut." Sherina terdengar kesal.

"Ya lagian lo bukannya maksa ikut sama mereka malah pasrah aja nggak diajak. Sadam juga gimana sih? Nggak tegas banget jadi cowok. Bisa-bisanya dia nggak ngusahain biar lo bisa ikut."

"Suudzon mulu deh otaknya." Sherina mendecih pelan. Perempuan itu lantas berbaring diatas ranjangnya yang besar. "Sadam ngajakin gue kok tadii. Malah ngasih alternatif buat tiketnya beli disana aja. Dia bahkan bilang kalau gue nggak ikut berarti dia juga nggak ikut."

"Terus?"

"Ya kalau Sadam nggak ikut terus acaranya batal kan kasian Suri, Yaa."

"Ya tapi kenapa lo nggak terima aja pas Sadam nawarin beli tiket on the spot, Sherinaa?"

"Yaa. Ini tuh waktunya Suri sama tantenya nggak sih? Gue sih mikirnya gitu."

"Ya masalahnya tantenya itu titisan siluman ulet bulu. Gatelnya sebadan-badan." Hilya masih terdengar kesal. "Apa gue nyusulin kesana aja sekarang? Biar gue jambak mukanya."

Sherina sekali lagi terbahak. Ya berbicara dengan Hilya benar-benar keputusan tepat. Sepupunya itu selalu bisa memperbaiki mood Sherina yang tadi sempat memburuk. "Nggak usah. Selama gue bisa handle lo anteng aja dirumah."

"Bisa handle gimana maksud lo?" Hilya terdengar tak terima. "Itu buktinya lo diem aja ditinggal di rumah sementara itu ani-ani pergi sama calon suami lo sama anaknya."

"Udah ah. Yang penting aman disini." Sherina memutuskan untuk mengganti topik pembicaraan mereka. "Eh gimana lo sama.." Perempuan itu berhenti ketika ia mendengar seseorang mengetuk pintu kamarnya. "Bentar-bentar."

"Selamat siang, Nona." Mathilda tersenyum sopan ketika Sherina membuka pintu kamarnya. "Maaf mengganggu. Aku hanya ingin menyampaikan bahwa nyonya sudah menunggu anda di bawah."

"Aku akan turun sebentar lagi." Sherina tersenyum sambil berterima kasih. Perempuan itu kemudian kembali menutup pintu kamarnya setelah Mathilda pergi. "Ya, udah dulu ya? Maminya Sadam nyariin."

"Eh buruan samperin. Kantor pusat itu. Manfaatin kekuatan orang dalam." Hilya sekali lagi terdengar bersemangat membuat Sherina terbahak.

**********

"Yang sebelah sana aja, Pii." Bu Ardiwilaga menunjuk gemas pada hamparan rumput luas di taman belakangnya. "Kalau yang disitu nanti tanaman mami mau taroh mana?"

"Ya tanaman mami aja yang dipindahin disana, Mii."

"Pi.."

"Maaf, Mi." Sherina yang kini sedang berdiri di pintu pembatas tersebut tersenyum canggung. Merasa sungkan karena baru saja menginterupsi apapun percakapan pasangan paruh baya tersebut. "Tadi kata Mathilda mami nyariin Sherina ya?"

"Sini, Sher. Duduk dekat mami." Bu Ardiwilaga menepuk pelan tempat kosong di sebelahnya sambil tersenyum. "Duduk sini kita ngobrol-ngobrol santai. Mumpung nggak ada Suri."

Sherina tertawa pelan menghampiri. Ya memang ada benarnya. Selama empat hari Sherina tinggal bersama mereka, gadis kecil itu praktis tak membiarkan seorang pun mendapat giliran untuk sekedar berbicara dengan Sherina. Singkatnya, mama Sher hanya milik Suri seorang selama disana.

DESTINYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang