21

340 30 275
                                    

storyline by setefitutut

Seperti biasa, BAHASA INDONESIA BAKU = BAHASA ASING


















**********

Sherina melenguh pelan ketika ia merasakan kesakitan berlebihan di kepalanya saat ia mencoba membuka mata.

"Sher?"

Sherina mengenalinya. Itu adalah suara Hilya nya tersayang. Hilya nya yang sedang flu berat.

"Sherinaa."

Ah, itu suara ayah. Suara berat yang hangat yang selalu disukai oleh Sherina. Ia menyukai ketika pria paruh baya itu memanggil namanya seperti sekarang. Menandakan kasih sayang yang besar hanya untuknya.

"Yah." Sherina berbicara pelan dan lemah seolah semilir angin lembut.

"Ya, Nak?" Suara pak Darmawan terdengar serak menahan tangis. "Ini ayah disini, Sayang. Sherina mau apa? Mana yang sakit, Nak?"

Semua, Yah. Semua. Dari kepala hingga ujung kaki. Bahkan hati dan pikirinnya saat ini juga sakit dan terasa lelah.

Apa sebaiknya dia tidur saja?

Ya, benar. Sherina lebih baik tidur lebih dulu. Baru nanti ketika dia terbangun, ia akan mengadukan semua hal pada ayahnya termasuk bagaimana jahatnya Dimas menyiksa hidupnya semalam.

Ya.

Nanti saja.

.

.

Sherina melenguh pelan. Merasa terganggu saat telinganya semakin jelas mendengar seseorang berbicara di sekitarnya.

"Dokter." Hilya yang berdiri di salah satu sisi ranjang itu menginterupsi, ketika ia melihat sepupunya mulai sadar.

Dokter itu memberi isyarat dengan tangannya pada dokter residen yang ikut bersamanya tadi. Memintanya segera mengatur penerangan ruangan tersebut. Sesaat kemudian cahaya di ruangan itu meredup perlahan, memberikan suasana yang menenangkan.

Dengan lembut, dokter wanita itu membuka salah satu kelopak mata Sherina lalu mengarahkan cahaya dari senter kecil itu ke pupil pasiennya tersebut. Memperhatikan dengan seksama bagaimana pupil Sherina menyusut saat terkena cahaya dan kembali normal ketika cahaya itu dijauhkan. Merasa puas dengan respon pasiennya, ia kembali mengantongi benda tersebut dan beralih untuk mengecek tanda vital pasiennya. Dibantu oleh perawat senior yang juga masuk bersamanya, dokter wanita itu memeriksa denyut jantung dan tekanan darah Sherina dengan seksama.

Setelah memastikan semuanya, ia menerima tablet berukuran sepuluh inci dari perawat tersebut. Menggerakkan jari telunjuknya di layar, meninjau hasil pemeriksaan terakhir sementara otaknya membandingkan dengan hasil pemeriksaannya barusan, sebelum mengembalikan perangkat itu kepada perawat tadi. Ia lantas tersenyum saat menyentuh pelan pundak Sherina.

"Mbaak. Bisa dengar saya?" Dokter itu bertanya tenang.

Sherina mengangguk sekali dengan lemah, sambil masih berusaha menyesuaikan matanya dengan cahaya ruangan tersebut.

"Saya Dokter Wina yang merawat Mbak. Boleh saya tau siapa namanya, Mbak?"

Namanya? Sherina mengernyit samar mencoba mengingat namanya. "She..Sher.. Sherina?" Ia terdengar tak yakin.

Dokter Wina melirik perawat senior yang membalas tatapannya sambil mengangguk. Dokter itu lagi-lagi tersenyum tenang. "Baik, Mbak Sherina. Gimana kabarnya hari ini?"

"Sedikit..pusing, Dok." Suara Sherina masih pelan.

"Sekarang coba tarik nafas perlahaan saja." Cara berbicara dokter Wina tersebut yang tenang dan penuh perhatian membuat Sherina merasa nyaman. Ia lalu mengikuti instruksi dokter tersebut.

DESTINYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang