Perasaan nostalgia itu seketika menghampiri Sherina saat mobil Sadam berbelok kemudian berhenti di depan pintu gerbang SMAN 5 Bandung.
Sadam yang sejak tadi berusaha menghubungi Arif kini kembali menyimpan ponselnya. "Sher, kamu tunggu sini bentar. Aku ijin dulu sama satpamnya."
Perempuan itu tersenyum sambil mengangguk ketika Sadam melepas sabuk pengamannya. Pria tersebut lalu menghampiri pria berseragam petugas keamanan yang sedang berdiri menatap mereka penuh tanya dari balik pintu gerbang yang terkunci rapat itu. Dari dalam mobil Sherina bisa melihat pria paruh baya itu menatap penuh kewaspadaan saat Sadam menyampaikan niatnya.
Pria berseragam itu kemudian kembali ke pos nya, sepertinya ia menghubungi seseorang yang ada di dalam gedung sekolah untuk memastikan. Karena beberapa saat kemudian ia kembali dengan wajah yang lebih ramah sambil membukakan kunci pintu gerbang tersebut.
"Arif udah nungguin di dalem ternyata." Kata Sadam setelah kini dia kembali duduk di balik kemudinya. Pria itu kemudian kembali menjalankan mobilnya melewati pintu gerbang tersebut. "Nggak nyangka ya, Sher. Ternyata kita bakalan balik lagi kesini." Katanya sambil memarkir mobil.
"Berasa pulang ke rumah nggak sih, Dam?" Sherina menatap Sadam.
Pria itu mengangguk sambil tersenyum menatap bangunan di depan mereka. Bangunan yang masih sama seperti yang terakhir kali dia ingat. "Pulang ke rumah bersama orang yang tepat." Katanya menatap Sherina.
Mendapati senyum manis itu tertuju padanya membuat Sherina tertegun. Kalau boleh jujur Sherina tak pernah bisa terbiasa dengan senyum yang diberikan Sadam untuknya. Senyuman lembut yang bagi Sherina selalu bisa menjangkau hatinya. Membuatnya teringat bagaimana pertama kali ia jatuh cinta pada senyuman itu.
FLASHBACK
Bu Darmawan tampak tak bisa mengendalikan rasa senangnya ketika kini mobil yang dikendarai suaminya itu berhenti tak jauh dari gerbang sekolahnya dulu. Ia kemudian berbalik menatap putrinya yang duduk di kursi belakang. "Sheer. Senyum doong." Perempuan di akhir tiga puluhan itu mencoba membujuk putrinya yang sedang besedekap kesal. "Nanti nggak punya temen loh kalau mukanya jutek gituu."
"Biarin. Biar Sherina nggak punya temen sekalian biar nggak ada yang gangguin Sherina belajar."
"Eh kok gitu ngomongnya?"
"Ya abisnya ibu sih. Buu, Sherina tuh maunya di tiga bukan di lima." Gadis itu merajuk menatap ibunya.
"Apa bedanya sih, Sheer?" Pak Darmawan yang dari tadi dia mendengarkan di balik kemudi kini berbicara. "Toh kompleks sama gedung sekolahnya masih jadi satu. Bedanya yang satu di sebelah kiri yang satu sebelah kanan."
"Beda, Ayaah." Sherina menatap ayahnya. "Kalau di tiga kan Sherina bisa lebih konsentrasi belajarnya nggak keganggu sama acara-acara sekolah yang nggak ada hubungannya sama pelajaran kayak di lima."
"Ih, sok tahu." Bu Darmawan menatap tak terima. "Nih ya, justru kalau kamu di lima itu kamu bakalan punya koneksi luas. Anak-anak SMA lima kan terkenal dengan sekolahnya anak-anak kaum jetset, Sher. Anak pengusaha, anak pejabat, anak artis. Bahkan ada loh anak menteri yang sekolah disini. Asal kamu tau ya, ibu aja kenal sama ayah tuh pas pensi disini loh, Sher. Yang waktu itu..."
"Iya-iya." Sherina memutar bola matanya jengah, bosan dengan kisah pertemuan pertama kedua orang tuanya."Pas ayah jadi drummernya band alumni kan? Yang pas itu rambutnya masih gondrong?"
Oh baiklah. Gadis itu bahkan tak pernah bisa membayangkan bagaimana ayahnya yang selama ini selalu terlihat tenang dan penyayang ternyata adalah salah satu anggota band dengan penampilan urakan. Ya kalau kalian juga berpikiran sama dengan Sherina bahwa gondrong adalah sebagian dari tanda urakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
DESTINY
FanfictionJika kau mencintainya, lepaskan. Biarkan ia bahagia dengan hidupnya. Tapi jika ia kembali maka ia milikmu selamanya. Karena cinta selalu punya cara untuk menemukan jalan pulang DISCLAIMER : This is a work of fiction. Unless otherwise indicated, all...