Hanako terbangun di tempat antah berantah. Di dalam hutan yang tidak ia kenali. Pohon-pohonnya berbatang gemuk, kanopinya lebar dengan daun-daun besar. Ia tidak tahu di mana tempat itu, tetapi yang pasti bukan di lokasi terakhir dirinya bersama Magnus dan Dylan. Bukan juga di Wilayah Kegelapan—karena sebagai Pendeta Agung, ia sensitif dengan energi yang mengalir di wilayah tersebut.
Hanako yakin dirinya masih berada di Wilayah Cahaya. Entah bagaimana alat teleportasi itu salah dan mengirimnya ke lokasi lain. Di satu sisi, ia masih mencoba untuk bersyukur karena tidak pergi ke Wilayah Kegelapan.
Namun, gadis itu merasa hampa dan sendirian. Ia merasa asing karena tidak ada Dylan dan Magnus. Ia merindukan pertengkaran dua orang itu. Ia rindu dengan senyum cerah di wajah Dylan atau tatapan mesum dari Magnus. Ia rindu mereka berdua.
Langit mendung dan hujan turun tidak lama kemudian. Hanako buru-buru masuk ke sebuah lubang pohon yang besar. Ia duduk memeluk lutut, menunggu hujan reda. Angin musim gugur benar-benar dingin. Ia menggunakan jubah putihnya untuk menutupi seluruh tubuh. Beruntung, ia memakai tunik panjang yang diberikan Santoru dan para pendeta Lightborn. Pakaian itu setidaknya bisa melindungi perutnya yang sensitif oleh hawa dingin.
Tubuhnya menggigil. Hanako merindukan sup buatan Magnus, rambut tebal Dylan saat berubah menjadi serigala, dan tubuh Magnus. Ia rindu dengan Magnus. Entah dimana pria itu berada saat ini. Hanako menghabiskan malam sendirian di tempat yang tidak dikenalinya, sendiri. Merindukan orang-orang yang biasa bersama dengannya.
Air matanya jatuh dan ia tidak bisa berhenti menangis.
"Magnus, tolong aku...," lirihnya, lemah.
Ia berhenti terisak beberapa jam kemudian, tertidur karena kelelahan.
Sinar matahari hangat menerpa wajahnya. Hanako terbangun, melihat langit yang sudah cerah. Dia keluar dari lindungan lubang pohon, berjalan pelan mengikuti jalan tanah yang diapit pepohonan. Entah kemana jalan itu akan membawanya, tetapi ia sadar kalau tidak boleh diam terus menerus.
Magnus dan Dylan menghilang, mereka juga pasti tengah berjuang untuk mencariku.
Hanako mengepalkan kedua tangannya.
Aku juga tidak boleh diam saja. Aku akan bertahan hidup. Aku adalah Pendeta Agung, aku tidak boleh lemah seperti ini!
Matanya menyala oleh tekad. Gadis berambut merah muda itu menghela nafas, menegakkan punggung dan memantapkan langkahnya. Ia tidak boleh putus asa terus menerus. Sekarang, yang harus ia lakukan adalah bertahan hidup, mencari informasi sekecil apa pun, mencoba menuju ke kerajaan Lightborn dengan kakinya sendiri.
Bahkan walau ketiga orang itu terpisah, mereka pasti akan menuju tempat yang sama. Kerajaan Lightborn. Walau, ia ingat Magnus bilang mereka akan singgah dulu di Kota Lutera. Itu bisa menjadi pilihan, tergantung dimana lokasi keberadaannya saat ini.
Hanako berjalan selama tiga jam lebih. Perutnya mulai keroncongan, lapar. Ia sungguh merindukan masakan Magnus. Hidungnya berimajinasi mencium aroma bakon yang digoreng sampai kering, atau telur mata sapi dengan roti yang dipanggang.
"Aku lapar," gumam gadis itu sambil mengelus perutnya. Ia berharap menemukan buah-buahan yang bisa di makan.
Samar, telinga Hanako menangkap suara dua pria yang sedang berbincang. Ia pun mempercepat langkah, wajahnya berseri.
Sekitar sepuluh meter kemudian, ia melihat dua pria yang mengenakan pakaian sederhana—mungkin warga suatu desa. Mereka tengah berbincang serius. Tangan salah satu orang itu menggenggam kastanye yang diselimuti kerak hitam.
"Permisi," Hanako menyela obrolan kedua pria itu.
Mereka menoleh, terkejut melihat Hanako. Gadis itu tersenyum kaku karena dipandangi seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tides of Plague and Time | 21+ Adult Only!
FantasyCerita ini repost. ⚠️ WARNING! KONTEN DEWASA! BIJAKLAH DALAM MEMILIH BACAAN! ⚠️ 🔞 Berisi adegan dewasa dan vulgar, risiko membaca ditanggung sendiri!🔞 Volume ketiga dari seri Priestess Temptation. Seri 1: The Priestess and the Wizard sudah tersedi...