29. Reruntuhan

619 35 14
                                    

Hari itu, langit cerah walau udara masih terasa sedikit dingin. Burung-burung pecuk terbang melintasi angkasa biru, dibawahnya ombak datang menerjang batu-batu karang. Beberapa berhasil mencapai garis pantai dan menyapu dataran berpasir tersebut.

Semua orang berkumpul di depan rumah Thomas, bahkan Vale sudah hadir di tempat. Namun, belum terlihat batang hidung Hanako sejak tadi. Magnus yang khawatir akhirnya kembali ke dalam. Ia langsung menuju ke lantai dua, membuka pintu kamar mereka.

Hanako tengah duduk di pinggir kasur, ia sudah mengenakan pakaian lengkap dan jubah putihnya. Namun, kondisinya terlihat aneh karena gadis itu tampak menunduk sambil memegangi kepalanya.

"Hanako, kau baik-baik saja?" tanya Magnus sambil duduk di sebelahnya.

Hanako mengangguk pelan. "Hanya sakit kepala sedikit."

Magnus meraih dagu gadis itu, lalu menarik wajahnya agar menatap Magnus. Kulit Hanako yang putih tampak lebih pucat dari biasanya. Peluh dingin mengalir di pelipisnya karena efek sakit kepala tersebut.

"Aku tidak tahu, pagi ini aku baik-baik saja. Lalu, saat sedang berganti pakaian, kepalaku menjadi pusing dan tubuhku terasa begitu lemah," tutur Hanako.

Alis Magnus bertaut, khawatir. Jelas ia tidak akan mengizinkan Hanako ikut ke reruntuhan Dewa Kaanos.

"Lebih baik kau istirahat saja di rumah," saran Magnus.

Hanako menggeleng. "Tidak. Kalian pergi ke reruntuhan karena ingin memulihkan Chrono Amulet, sementara aku yang paling membutuhkan benda tersebut." Gadis itu berkata dengan tegas. "Apa pun yang terjadi, aku harus ikut ke sana."

"Lihatlah kondisimu." Magnus menghela nafas. "Tidak masalah kalau kau tidak bisa ikut Hanako."

"Jangan meremehkanku, Magnus. Aku ini Pendeta Agung!" Hanako keras kepala.

Kalau Hanako sudah bersikeras, Magnus tahu tidak ada gunanya melarang gadis itu. Yang bisa Magnus lakukan adalah memastikan Hanako baik-baik saja selama di dalam reruntuhan.

"Baiklah," ucap Magnus, akhirnya. "Tapi kumohon, jangan paksakan dirimu."

Hanako mengangguk paham. "Aku tahu kapasitas diriku, Magnus. Ini hanya sakit kepala ringan, aku akan baik-baik saja."

Hanako bisa merasakan kekhawatiran Magnus, tetapi gadis itu tahu dirinya baik-baik saja. Dibandingkan rasa sakit di kepalanya, ia justru jauh lebih tersiksa kalau harus berpisah dengan Magnus lagi. Entah berapa lama mereka akan berada di dalam reruntuhan, Hanako tidak mau menunggu sampai berminggu-minggu lamanya.

Ia ingin berada di samping Magnus, memeluknya, berada di dalam kurungan lengannya, berciuman dengannya. Hanako lelah menanggung rindu setiap kali Magnus menghilang dan tidak kembali dalam waktu yang lama. Ia tidak mau seperti itu lagi.

Sepasang mata biru langit yang seperti kristal itu menatap Magnus lekat. Hati Magnus berdebar setiap kali memandangnya, darahnya berdesir lembut menelusuri kecantikan tersebut. Magnus merengkuh pipi Hanako yang putih seperti permukaan kapas lembut. Dikecupnya dahi Hanako, lalu pipi kanannya. Dahi mereka saling menempel, hidung bersentuhan. Wajah keduanya sangat dekat sampai Hanako bisa merasakan hembusan nafas hangat dari Magnus.

Mata keduanya bertemu selama beberapa detik sebelum Magnus memagut bibirnya penuh hasrat.

Terdengar helaan nafas disertai desahan dari Hanako. Gadis itu menerima lidah Magnus yang masuk ke dalam dan menyapu isi mulutnya dengan rakus. Ia terbuai oleh ciuman tersebut. Tubuhnya terasa semakin rileks dan nyaman, tetapi juga panas oleh gairah yang membara.

Ciuman itu akan berubah menjadi sesuatu yang lain andai Magnus tidak memutuskan untuk berhenti. Ia yang pertama menarik bibirnya, meninggalkan jejak saliva di bibir keduanya. Hanako sedikit kecewa saat cumbuan itu berakhir, tetapi ia juga ingat kalau mereka tidak bisa berlama-lama di dalam kamar.

Tides of Plague and Time | 21+ Adult Only!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang