Hanako terbangun di sebuah kamar yang nyaman. Sinar matahari menembus jendela, cahayanya membuat ruangan itu sedikit hangat. Ia duduk di pingir kasur, masih dalam keadaan telanjang. Namun, seluruh tubuhnya sudah bersih. Di atas lantai kayu ada sebuah ember berisi air dan lap kain. Seseorang pasti menyeka tubuhnya selama ia tertidur.
Di dinding terdapat gantungan baju dan ada sebuah tunik di sana. Pakaian penyembuh Kerajaan Lightborn. Pakaian itu juga sudah dibersihkan dan tampak rapi. Hanako bangkit dan mengenakan tunik itu. Masih terasa ketat seperti pertama kali ia pakai.
Hanako mencium aroma sedap dari lantai bawah. Ia keluar kamar, menuruni tangga dan di tiba di ruang tengah. Di depannya ada dapur. Meja makan berisi empat kursi itu diisi oleh Kepala Desa. sementara, Rolf tengah memasak sesuatu di kompor kayunya.
"Ah, Nona Penyembuh sudah bangun!" sapa Kepala Desa. Ia berdiri untuk menyalami gadis itu. "Sebelumnya aku tidak sempat memperkenalkan diri, namaku Keihl. Kepala Desa Aetherwind."
"Namaku Hanako," balas gadis itu sambil duduk di salah satu kursi. Ia kini tahu nama desa tempatnya berada. Aetherwind, andai Hanako tahu dimana lokasinya. Ia benar-benar buta tentang wilayah lain di luar Kerajaan Holy Land.
Rolf bergabung dengan mereka, membawa teflon berisi telur goreng yang ia bagi tiga. "Maaf, Hanako. Cuma ini yang bisa kami hidangkan."
"Tidak apa-apa." Hanako tersenyum, tetapi sebenarnya ia kelaparan. Ia belum makan sejak kemarin, ditambah energinya dikuras habis seharian untuk mengobati para penduduk desa. Jelas, ia butuh nutrisi lebih.
Melihat ekspresi Hanako, Rolf menyisakan telur gorengnya dan meletakkannya di piring Hanako. "Ini untukmu."
"Tidak, Rolf. Aku cukup dengan porsiku."
"Kau sudah menyelamatkan nyawaku dan ayahku, telur goreng ini tidak seberapa. Sungguh."
Hanako tidak bisa berkata-kata kalau Rolf sudah bilang seperti itu. Ia berterima kasih lalu memakan sisa bagian Rolf. Hanako menjilat bibir bawahnya, ia rindu masakan Magnus yang lezat.
"Wabah ini tidak hanya menyebabkan aktivitas desa lumpuh, tetapi juga mematikan panen, hasil ternak dan hasil perikanan penduduk desa," kata Keihl.
"Bagaimana bisa begitu?"
"Wabah ini awalnya datang dari hasil tangkapan nelayan," cerita Rolf. "Waktu itu, mereka pulang membawa hasil tangkapan. Saat akan dijual, beberapa ikan itu memiliki kerak hitam. Setelah dikonsumsi, penyakit kerak hitam itu akhirnya pindah ke manusia."
"Jadi penularannya antar manusia?"
Keihl menggeleng. "Kami tidak tahu. Bisa juga dari makanan karena hasil panen dan hasil ternak, satu persatu memiliki gejala kerak hitam itu."
"Kami tidak menyadarinya dan mengonsumsi makanan itu selama beberapa hari. Sampai akhirnya satu per satu penduduk terinfeksi."
Hanako memandangi teflon di depannya. "Kalau begitu, telur yang kita makan?"
"Ah, tidak. Itu telur yang kami beli dari desa sebelah sebelum wabah ini menyebar luas," jelas Rolf. "Kami sadar kalau harus memasok makanan dari desa lain, tetapi karena banyak yang terinfeksi, akhirnya tidak ada yang mampu membeli pasokan di luar desa."
"Ditambah, tidak semua rumah mampu untuk membeli stok sendiri. Tidak hanya penyakit, penduduk desa juga mulai dilanda kelaparan," imbuh Keihl.
Hanako merenung. Kondisi desa jauh lebih buruk daripada yang dibayangkannya. Kalau soal penyebaran kerak hitam tidak diatasi, tidak peduli seberapa banyak Hanako menyembuhkan penduduk desa—cepat atau lambat mereka akan kembali terinfeksi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tides of Plague and Time | 21+ Adult Only!
FantasyCerita ini repost. ⚠️ WARNING! KONTEN DEWASA! BIJAKLAH DALAM MEMILIH BACAAN! ⚠️ 🔞 Berisi adegan dewasa dan vulgar, risiko membaca ditanggung sendiri!🔞 Volume ketiga dari seri Priestess Temptation. Seri 1: The Priestess and the Wizard sudah tersedi...