12. Regenerasi

437 13 0
                                    

Thomas dan Hanako beristirahat tidak jauh dari lubang besar yang menganga di tengah hutan. Sisa reruntuhan Dorum itu amblas bersama dengan permukaan tanah di sekitarnya.

Hanako bersandar di batang pohon dan Thomas terkapar di sebelahnya. Nafas pria itu terengah, wajahnya pucat pasi. Lebih dari setengah tentakelnya hancur karena terkenal peluru-peluru Cephalo.

"Kita harus pergi dari sini," kata Hanako. "Siapa tahu ada monster lainnya."

"Aku juga ingin begitu," ucap Thomas, parau. "Tetapi kakiku tidak bisa digerakkan sama sekali. Sebenarnya, dari pinggul sampai ke bawah, aku tidak merasakan apa pun."

Thomas memiringkan kepalanya, menatap Hanako. Ia bisa menangkap kebingungan di wajah gadis itu.

"Cephalo menghancurkan banyak tentakel milikku." Thomas berkata pelan. "Tanpa tentakelku, aku tidak bisa berjalan."

Hanako terkejut, tetapi ia memilih untuk tidak berkata apa pun. Di kepalanya, kalimat Laurent kembali terbayang.

Tidak lengkap. Ia kini paham apa maksudnya. Pikirannya berasumsi terhadap kondisi tubuh Thomas yang sebenarnya, tetapi ia tidak ingin menyinggung soal itu karena takut membuat pria di sebelahnya merasa tidak enak.

Thomas tersenyum kecil, ia bisa memahami air muka Hanako. Pria itu menatap ke langit malam yang berbintang. Matanya menerawang ke masa lalu. Mulutnya terbuka dan ia pun mulai bercerita.

"Aku tidak pernah layak menjadi kandidat Ksatria Terpilih. Bahkan sebagai prajurit biasa pun, aku tidak mampu." Ia tersenyum mengatakan itu, walau Hanako yakin tidak mudah bagi Thomas untuk menceritakannya.

"Aku terlahir cacat. Kedua kakiku tidak berfungsi, rambutku putih dan fisikku sangat lemah. Jika aku bukan terlahir di keluarga bangsawan, orangtuaku pasti sudah lama membuangku. Namun, aku justru terlahir sebagai seorang Voston." Thomas tertawa miris. "Mereka tidak bisa menyingkirkanku, akhirnya terpaksa membesarkanku."

"Malu karena memiliki putra pertama yang cacat, orang tuaku lebih banyak mengurungku di vila belakang mansion. Sejujurnya, aku menikmati waktu sendiri itu. Aku bisa memanfaatkan sumberdaya yang kupunya, uang." Pria itu terkekeh pelan. "Aku membeli banyak buku dan barang-barang aneh dari pasar gelap. Sampai akhirnya aku mengetahui kalau sebagian besar barang yang kubeli adalah artefak sihir. Lalu, aku mulai bereksperimen. Sedikit demi sedikit, sampai akhirnya menemukan cara untuk menutupi kecacatanku."

Thomas menggerakkan salah satu tentakelnya yang berwarna gelap. Ia memandangi benda kenyal tersebut. "Scalesurge, monster gurita yang kutemukan di Black Sea. Aku menggunakannya sebagai eksperimen dan memodifikasi tubuhku sendiri. Kemampuan unik monster itu menutupi kecacatan pada tulang belakangku, sehingga akhirnya aku bisa berjalan. Sebagai gantinya, aku menjadi inang bagi gurita itu. Makanya aku bisa menumbuhkan tentakel."

Thomas menghela nafas panjang. "Yah, itu sebabnya saat tentakelku habis, aku juga kehilangan kemampuan berjalanku."

Hanako tertegun menyimak cerita Thomas. Ia tidak bisa membayangkan betapa besarnya kesulitan yang sudah Thomas lalui untuk sampai di tahap sekarang.

"Kau sudah mengalami banyak hal," tanggap Hanako pelan. Thomas melirik dan mendapati mata gadis itu berkaca-kaca memandanginya. Ia jadi tidak enak hati karena membuat Hanako sedih.

"Jangan khawatir Pendeta Agung, aku sudah menerima kondisiku ini." Thomas tersenyum lebar padanya.

"Walau kau tidak mengakui Dewa, Ia pasti tetap bangga padamu. Itu sebabnya kau dipilih menjadi kandidat Ksatria Terpilih.

Thomas tertawa. "Kurasa itu penilaian yang berlebihan. Aku hanya berjuang untuk diriku sendiri, bukan mencoba membuat Dewa kagum."

Hanako menarik ujung bibirnya, tersenyum bangga kepada Thomas. Tangannya membelai lembut kepala pria itu. "Jika Dewa tidak mengucapkannya langsung padamu, biar aku saja. Kau luar biasa, Thomas Voston."

Tides of Plague and Time | 21+ Adult Only!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang