Hanako turun ke bawah sambil mengenakan selimut di sekujur tubuhnya. Ia mendengar suara gaduh di dapur dan menemukan Magnus tengah mengecek setiap lemari di sana. Pria itu menghela nafas, ekspresinya terlihat kecewa.
"Magnus?"
Magnus menoleh ke arah tangga, tersenyum ke pemilik suara yang memanggilnya. Hanako berlari kecil dan melompat ke pelukan Magnus. Diciumnya bibir pria itu, singkat.
"Kenapa kau pakai selimut?" tanya Magnus sambil membelai pinggang Hanako yang telanjang.
"Kau merobek tunikku semalam."
Magnus terdiam dan memutar bola matanya, mengingat kejadian tersebut. "Oh, kau benar. Kebiasaan burukku."
Hanako tertawa kecil. "Nanti aku akan meminta Thomas meminjamkan salah satu jubahnya." Gadis itu melihat ke meja dapur yang berantakan, penuh perkakas memasak yang terlihat seperti baru.
"Kau mau memasak?" tebak Hanako.
"Ya, itu niat awalku. Tetapi tidak ada satu pun bahan makanan di rumah ini."
Hanako seketika teringat dengan kondisi desa Aetherwind, wabah yang menyerang penduduk desa tidak hanya menginfeksi manusia, tetapi juga hasil ternak, pertanian dan perikanan mereka.
"Penduduk desa tidak memiliki pasokan makanan, Magnus," ucap Hanako. "Aku melihatnya sendiri kemarin, hasil pertanian mereka terkena penyakit yang sama."
"Lalu, bagaimana cara penduduk itu mendapatkan makanan?"
"Mereka membeli dari luar desa." Hanako bisa menangkap kekhawatiran di mata Magnus. Pria itu mungkin akan cukup keras kepala untuk pergi ke desa terdekat dan membeli bahan makanan. Namun, tangan Hanako langsung mengelus dadanya lembut dan menahannya.
"Kenapa kau repot-repot mau memasak?" tanya Hanako.
"Seseorang mengigau tadi pagi dan berulang kali menyebut kata lapar." Magnus menjepit dagu Hanako dengan jarinya, lalu mengangkat wajah gadis itu agar menatapnya. "Kapan terakhir kali kau makan?"
"Kemarin pagi."
Magnus mendesah pelan. Keningnya ditambatkan pada dahi gadis itu. "Seharusnya aku meninggalkan makanan untukmu di bola kristal itu."
Hanako merangkul pundak pria itu, tubuhnya ia rapatkan. Bisa dirasakannya hembusan nafas Magnus yang hangat. Gadis itu memajukan wajahnya dan mengecup bibir Magnus, lembut dan penuh kasih sayang. Terasa pijatan di permukaan bibirnya, Magnus membalas ciumannya.
Tangan Magnus mencengkeram pinggang Hanako, bergerak perlahan menggerayangi punggungnya, membuat gadis itu sesekali mendesah di sela-sela ciuman mereka. Ciuman itu terasa makin panas dan menuntut, hingga tersebit ide di kepala Hanako.
Dilepaskannya ciuman itu walau berat. Matanya mengerling nakal pada Magnus.
"Aku tidak butuh sarapan," ucapnya, membuat Magnus bingung. Sebelum Magnus menjawab, tangan Hanako sudah lebih dulu turun menelusuri perut berotot pria itu. Sentuhannya terus turun sampai ke selangkangan Magnus.
Dibelainya tonjolan keras di balik celana pria itu. "Ada benda besar di bawah sini yang bisa kumakan," goda Hanako.
Magnus tersenyum miring. Ia tidak menyangka Hanako akan menggodanya seperti itu di pagi hari. Tentu saja, Magnus tidak menolak. Ia biarkan Hanako berjongkok di depan lututnya dan melakukan apa kedua orang itu inginkan.
***
Dylan menuruni tebing yang curam, ia mengambil jalan pintas ketimbang mengikuti arahan Karla yang menyuruhnya turun melalui jalan stapak kecil di sisi tebing.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tides of Plague and Time | 21+ Adult Only!
FantasyCerita ini repost. ⚠️ WARNING! KONTEN DEWASA! BIJAKLAH DALAM MEMILIH BACAAN! ⚠️ 🔞 Berisi adegan dewasa dan vulgar, risiko membaca ditanggung sendiri!🔞 Volume ketiga dari seri Priestess Temptation. Seri 1: The Priestess and the Wizard sudah tersedi...