25. Siput

774 35 13
                                    

Jantung Hanako berdetak cepat saat menatap Magnus. Pria itu duduk di lantai, beralaskan karpet lalu matras dan selimut tebal yang dipinjamkan Thomas. Cahaya kuning dari perapian menimpa kulitnya, mata beriris birunya seperti menyala di dalam keremangan ruangan tersebut.

Otot-otot lengan Magnus yang tercetak di kaos lengan pendek hitamnya membuat darah Hanako berdesir. Gadis itu ingin berada di dalam kurungan lengan Magnus yang hangat, tetapi perasaan bersalah membuat Hanako hanya terdiam di tempat.

Apalagi saat ditatapnya sorot mata Magnus yang dingin. Atau itu hanya perasaannya. Hanako tidak tahu. Ia berat untuk melangkah, tetapi dorongan dari hatinya jauh lebih besar. Gadis itu pun akhirnya mendekati Magnus.

Ia bersimpuh di depan Magnus. Jarak mereka cukup dekat, tetapi masih menyisakan ruang yang membuat Hanako tidak nyaman.

Gadis itu sulit melihat langsung ke mata Magnus. Bahkan untuk bicara pun, lidahnya seperti berkhianat dan memilih diam. Mulutnya sudah terbuka, tetapi tidak ada suara yang keluar. Ia takut.

Ia takut Magnus marah atau kecewa kepadanya karena sifatnya yang kekanakan.

Saat Hanako terdiam, tangan besar milik pria itu menjulur dan meraba rahangnya dengan lembut. Hanako mengangkat wajahnya, terkejut.

"Kenapa kau belum tidur?" tanya Magnus dengan nada suaranya yang tenang dan rendah.

Hanako menarik nafas, lalu akhirnya berbicara.

"Aku tidak bisa tidur."

Hanako terdiam untuk beberapa saat dan Magnus tidak meresponnya. Pria itu menunggunya melanjutkan kalimat tersebut.

Manik gadis itu menatapnya lekat. "Apakah kau benci padaku?"

Magnus terkejut karena Hanako berkata seperti itu. "Tentu saja tidak."

"Tetapi, aku bersikap menyebalkan." Suara Hanako seperti pecah saat mengucapkannya, ia sangat malu sampai kepalanya menunduk dalam-dalam.

Magnus seketika paham apa yang menjadi gundah gulana gadis itu. Pria itu merapatkan jarak tubuh mereka, lalu memeluk Hanako sebelum gadis itu sempat merespon. Hanako terkejut saat tubuhnya sudah berada dalam kurungan lengan pria itu. Kepalanya, refleks menyandar di dada bidang Magnus.

Ia bisa menghirup aroma musk yang maskulin dari tubuh pria itu. Ia merindukan aromanya. Hanako menarik nafasnya dalam-dalam, seakan tidak puas oleh aroma yang dihirupnya. Ia ingin berlama-lama berada di pelukan Magnus, meresapi setiap jengkal tubuh pria itu.

Magnus menelan ludah saat merasakan helaan nafas Hanako di dadanya. Rangsangan kecil itu membangkitkan api gairahnya.

"Hanako," panggil Magnus, pelan. Gadis itu pun mendongak dan menatapnya. "Aku tidak membencimu. Kau cemburu dan itu wajar."

Tangan Magnus bergerak membelai kepala gadis itu, lembut dan hati-hati.

"Aku yang salah. Seharusnya aku tidak membiarkan dia menciumku seperti itu." Aku Magnus. "Aku seharusnya lebih memikirkan perasaanmu."

"Tidak, kalau seperti itu aku yang egois," sangkal Hanako.

Magnus mengerutkan keningnya. "Apa maksudmu?"

"Aku sering bercinta dengan pria lain, tetapi kau selalu bisa menahan marahmu untukku. Aku yang selama ini egois." Hanako hampir terisak saat mengatakan hal tersebut. Sejujurnya ia malu, tetapi selain kewajibannya sebagai Pendeta Agung, ia memang terkadang melakukannya karena sama-sama ingin, entah itu saat bersama Dylan atau pun Thomas.

Magnus terdiam. Matanya menatap ke perapian, merenungi apa yang sudah mereka lalui sejauh ini dan ia akui kebenaran di ucapan Hanako.

Bahkan, saat Magnus memikirkan suatu hari Hanako akan bercinta dengan Kandidat Ksatria Terpilih, itu pun sudah cukup untuk membuat darahnya mendidih. Ia bisa saja melakukan apa pun untuk membunuh Kandidat Ksatria Terpilih, tetapi tindakan itu bodoh dan terlalu berisiko. Ia tidak mungkin melakukannya, ia tidak mungkin mencegah mereka bersatu.

Tides of Plague and Time | 21+ Adult Only!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang