Di taman yang teduh dekat tempat tinggalnya, Hanbin merasa cemas karena sudah satu jam lamanya ia tidak bisa menghubungi Zhang Hao. Harusnya hari ini hasil ujian dan peringkat mereka diumumkan. Tidak sabar untuk memberitahu Zhang Hao tentang prestasinya, Hanbin gelisah karena kesepakatan mereka untuk saling memberitahu saat hasil ujian keluar.
"Peringkat pertama paralel," ucapnya, "Aku harus memberitahu Zhang Hao tentang beasiswa penuh yang akan kudapatkan di universitas nanti."
Namun, kegelisahan semakin menghimpit saat panggilannya terus tak terjawab. Hanbin berusaha menenangkan dirinya sendiri, berulang kali meyakinkan diri bahwa Zhang Hao pasti baik-baik saja. Namun, bayangan-bayangan negatif mulai menyelinap ke dalam pikirannya, menciptakan keraguan yang sulit diatasi.
"Tidak, aku harus percaya pada Zhang Hao." pikirnya, berusaha mengusir keraguan itu. "Dia pasti bisa menghadapi apapun yang terjadi."
•••
Di pinggir lapangan sekolahnya di siang hari mendung itu, Zhang Hao terus bergumam resah tidak karuan. Pikirannya terus menggelinding dalam gelombang kekhawatiran yang tak berujung. Bahkan air matanya pun telah kering karena sudah terlalu sering mengalir.
Fakta bahwa ia hanya mendapatkan peringkat lima paralel di sekolahnya seolah menjadi beban berat yang terus menghimpitnya. Rasanya seperti sebuah kegagalan besar yang tak termaafkan, sebuah bayangan yang mengejar-ngejar di setiap langkahnya.
Zhang Hao terus bergelut dengan pikirannya yang sudah sangat berantakan di dalam sana. Ia merenungkan masa depan yang akan datang, di mana ia dijadwalkan untuk berkuliah di sebuah kampus di Kanada. Pemikiran ini menghantamnya seperti badai, karena itu berarti meninggalkan negara tempat ia lahir dan besar. Meninggalkan semua kenangan indah, teman-teman yang sudah menjadi bagian dari kehidupannya, dan yang lebih menyakitkan lagi, meninggalkan Hanbin, sahabatnya sejak kecil.
Pada saat itu, Zhang Hao merasa seperti berada di persimpangan jalan yang tak berujung, di mana setiap pilihan membawa konsekuensi yang tak terelakkan. Yang ia tahu hanyalah bahwa apa pun keputusannya nanti, ia akan membawa hati yang penuh kerinduan dan kebingungan.
•••
Di depan pintu ruangan Ayahnya, Zhang Hao berdiri dengan tubuh basah kuyup dan gemetar. Tangannya mengepal erat menggenggam selembar kertas hasil ujian, di mana peringkat kelima yang tertera di atasnya seakan menjadi hantu yang menghantui.
Diam-diam, Zhang Hao merenung. Dia terjebak dalam pertarungan batin yang tak ada habisnya, terjepit di antara kenyataan yang keras dan harapan yang pudar. Bayangan masa depan yang telah ia impikan bersama Hanbin dan teman-teman lainnya tampak semakin kabur, semakin menjauh di cakrawala yang tak terjangkau.
Namun, dalam kebisuannya, Zhang Hao menyadari bahwa dia harus merelakan segala bayangan dan rencana yang telah dibuat. Mungkin itu akan menjadi salah satu perpisahan terberat yang harus dia alami.
Tapi mengapa Ayahnya begitu keras memperjuangkan beasiswa untuknya? Apakah ini tandanya Ayahnya tidak ingin dia melanjutkan pendidikan di negara ini? Apakah Ayahnya sengaja ingin mendorongnya untuk kuliah di Kanada, mengikuti jejak pendidikan yang telah Ayahnya tempuh di sana dulu? Bahkan, Zhang Hao menyadari bahwa biaya kuliah di Kanada akan jauh lebih mahal daripada di negaranya sendiri.
Dengan hati yang berat, Zhang Hao merenungkan semua pertanyaan yang menghantuinya. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya ada di benak Ayahnya, tetapi satu hal yang pasti, keputusan ini akan membentuk jalan hidupnya ke depan.
"Ayah," Zhang Hao mengucapkan dengan suara yang lembut saat ia memasuki ruangan yang penuh ketegangan.
Ayahnya, yang duduk di balik meja kerjanya dengan ekspresi serius, segera memalingkan pandangannya dari dokumen yang sedang ia periksa. Meskipun terlihat jelas bahwa Zhang Hao basah kuyup, Ayahnya tampaknya tidak tertarik untuk menyoroti hal tersebut. Matanya yang tajam menatap Zhang Hao dengan ekspresi tak berubah.
"Bagaimana hasilnya?" tanyanya, suaranya datar tanpa sedikitpun kecemasan yang terlihat.
Zhang Hao dengan hati-hati meletakkan kertas ujian basah itu di atas meja Ayahnya. Ia merasa tegang, menunggu reaksi Ayahnya dengan napas yang tercekat.
Saat Ayahnya melihat hasil ujian tersebut, wajahnya hanya menyunggingkan senyum miring yang menyiratkan ketidakpuasan. Tanpa ragu, ia membuang kertas itu ke dalam tempat sampah, seolah-olah itu tidak lebih dari sekadar sampah yang tak berarti.
"Baguslah kalau begitu," ucap Ayahnya dengan nada tegas, suaranya tidak bergetar sedikit pun. "Tiga hari lagi kau berangkat ke Kanada. Semuanya sudah aku persiapkan."
Kata-kata itu terdengar seperti pukulan berat bagi Zhang Hao. Ia merasa kehilangan tanpa bisa mengekspresikan kekecewaannya. Tidak ada ruang untuk membicarakan harapannya atau meragukan keputusan Ayahnya. Zhang Hao merasakan betapa dunianya hancur berantakan di hadapannya, namun ia memilih untuk menutupi perasaannya dengan mantap.
Di dalam hatinya yang terluka, Zhang Hao tahu bahwa ia harus menerima nasibnya. Mungkin ada harapan yang sirna dan impian yang hancur, namun ia tidak punya pilihan selain mengikuti keputusan Ayahnya.
Air mata Zhang Hao kembali mengalir deras, membasahi wajah yang sudah memerah. Dengan penuh kekecewaan pada dirinya sendiri, ia menunduk dalam kesedihan yang tak terucapkan. Segala upaya keras yang telah dilakukannya terasa tak berarti saat hasilnya berkata sebaliknya.
Meskipun Zhang Hao telah membuat janji pada dirinya sendiri untuk berhasil, bahkan Ayahnya telah memberinya kesempatan, namun ia tetap gagal. Perasaannya sekarang adalah sebuah kekalahan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ia merasa telah kehilangan hak untuk melawan, terpuruk dalam keputusasaan.
"Maafkan Aku. Aku tidak bisa menepati janjiku sendiri."
To Be Continued...
- 19.03.2024 -
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Querencia | BinHao ♡
Fanfiction"Querencia" adalah tempat di mana jiwa merasa betul-betul di rumah, di mana setiap sudut mengembalikan kenangan manis, dan di mana hati merasa damai dalam kehangatan yang diberikan oleh kenangan lama dan harapan baru. Sung Hanbin ♡ Zhang Hao ♡Binhao...