05. Al-Khaif

102 16 0
                                    

HAMPIR separuh usia, aku berpikir jika cinta pada manusia hanya mampu membuat luka, seperti Umi yang berpisah dengan Abi karena mereka saling mencintai

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


HAMPIR separuh usia, aku berpikir jika cinta pada manusia hanya mampu membuat luka, seperti Umi yang berpisah dengan Abi karena mereka saling mencintai.

Maka dari itu, aku tak memikirkan perihal pernikahan karena kebahagiaan surga pun tidak selalu dilazimkan pada sosok pasangan untuk menggapainya. Seperti kisah Maryam, perempuan yang selalu menjaga kehormatan tanpa pasangan, tapi Allah memuliakannya dengan titipan suci dalam rahimnya. Maryam bahkan bersanding dengan nama perempuan paling sempurna seperti Asiyah, Khadijah, dan Fatimah.

Esensinya manusia tidak mempunyai siapa pun di dunia ini selain Allah, Sang Maha Mencintai. Maka benar jika tidak ada harapan yang lebih baik selain berharap pada-Nya. Namun, hati ini terlalu keras untuk berani berkata jika tidak selamanya cinta membuat kita terluka. Perasaan takut dikecawakan dan mengecewakan selalu membuat aku merasa tidak pantas untuk siapa pun.

Dalam episode lemah yang telah aku lalui bersama Umi, Umi sempat berkata jika Umi dan Abi adalah dua orang yang gagal. Umi gagal bertahan untuk Abi, dan Abi gagal memahami cara Umi dalam mencintai. Karenanya, kedatangan Pak Hafidz hanya membuat aku semakin runyam.

Membaca semua informasi diri yang Pak Hafidz berikan melalui CV. Aku tak tahu lagi bagaimana Allah memberikan skenario takdir yang begitu unik, Khaif, penulis yang selalu aku tunggu karyanya, ternyata hanya nama pena.

Muhammad Hafidz Adhitama Al-Khaif.

Pak Hafidz bersembunyi dengan begitu baik saat semua orang ingin mengetahui rupanya. Ternyata, bukan Pak Hafidz yang lebih dulu menemukanku, melainkan aku yang sudah lebih dulu ingin menemukannya.

Om Dawa benar-benar menemukan seseorang yang aku jadikan sumber kriteria.

"Aku sudah cek berulang kali, Pak Hafidz itu ternyata Khaif." Dengan rusuh, aku memberitahu Feeyah.

"Itu namanya emang udah takdir aja. Kamu mikir gak, sih, kalau sebenarnya kalian kayak magnet. Pas udah Allah dekatkan kayak saling tarik-menarik gitu. Ini penulis yang kamu suka, lho, Fa," ucap Feeyah dengan segala majas hiperbolanya.

Menarik napas seraya menatap Feeyah di layar ponsel, aku sengaja mengganggunya pada jam istirahat begini. Perempuan itu terlihat sedang sibuk makan.

"Dipikirin sampe beribu-ribu kali pun aku tetap gak pantas buat dia, Fee. Masa dia kayak maksa gitu sih sampai kirim CVnya langsung, makin dia usaha makin buat aku merasa bersalah. Aku gak mungkin terima dia karena kasihan," jawabku, memberanikan diri untuk bercerita.

"Itu bukan maksa, tapi usaha. Dia pengen memperjuangkan kamu. Definisi usaha disertai tawwakal."

Mendengar Feeyah, aku termenung mengingat sesuatu. Ada satu kisah seorang lelaki pada zaman Nabi yang membiarkan untanya terlepas begitu saja tanpa diikat ketika memasuki Masjid. Rasulullah yang melihatnya lalu bertanya, kenapa dia enggak ikat untanya. Sahabat itu menjawab bahwa dia bertawakal kepada Allah dengan tidak mengikat untanya. Lalu Rasulullah memerintahkan sahabat itu untuk menambat untanya, barulah bertawakal kepada Allah.

A Journey With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang