DENGAR LAGUNYA DI MULMED 🐝
"Saya selalu berlatih agar tidak berbuat kesalahan sekecil apa pun itu karena saya takut ditinggalkan. Tapi akhirnya, saya lebih baik ditinggalkan oleh orang lain daripada dia tidak bahagia dengan saya."
- Safa
****
"Kamu tadi mempertanyakan keadaan Abi di rumah kita dulu. Safa kenapa? Jangan seperti ini, nak."
"Sejak kapan gangguan panik gini, Fa?" tanya Tante Hawa.
"Apa kondisi Safa seperti itu? Seingat Safa, Safa juga pernah gini waktu pertama kali pindah ke Jakarta, ini biasa karena Safa pernah ngalamin. Mungkin ini gerd Safa kambuh, Tan. Safa gak papa."
"Sebelum pindah kamu belum punya sakit gerd, Fa." Umi menggeleng, membuatku terdiam.
BERISTIGFAR dalam hati, aku meneguk segelas air hangat untuk menetralkan pikiran. Ucapan Umi dan Tante Hawa terlintas meski kini aku sudah merasa baik-baik saja. Aku bahkan tak tahu apa yang aku katakan secara tidak sadar, apa kemarin malam aku juga berbicara melantur pada Mas Hafidz?
Menatap layar laptop yang masih menyala dengan berbagai artikel terkait gangguan panik dan cemas. Aku baru menyadari jika rasa sakit dan takut yang aku rasakan bukan seperti biasa, aku bahkan tak tahu cara untuk berpikir positif meski sebentar saja. Dulu aku pernah mengalami sesak itu hanya saat mendengar perkelahian teman di sekolah atau mendapat bentakan dari atasan ketika di kantor. Namun, mengapa kini rasa sesak itu semakin parah dan menyerang saat aku cemas dengan perihal yang belum terjadi?
Menatap foto keluarga Mas Hafidz, aku termenung mengingat kondisiku sendiri. Apa Mas Hafidz akan bahagia jika aku terus-menerus seperti ini? Selalu mencemaskan dan tak berani berbicara lantang jika menemukan masalah.
"Safa sudah selesai kerjanya?"
Tersentak saat mendengar suara Mas Hafidz, aku langsung mematikan laptop. Segera berjalan menuju dapur ketika Mas Hafidz menuruni anak tangga.
"Udah Mas Hafidz," jawabku, meliriknya yang kini menyimpan beberapa buku ke rak buku.
"Mas Hafidz, Safa mau tanya tentang kemarin lusa," kataku sembari mengisi gelas untuk kami minum.
"Mau tanya apa?"
"Mas pernah dengar Safa ngomong melantur, gak? Safa ingat waktu malam kemarin lusa Mas Hafidz sempat nanya tapi Safa bingung."
Mas Hafidz terlihat terdiam sebentar, dia lantas mendekat dan duduk di depanku.
"Waktu itu kamu bilang ... kamu takut," balas Mas Hafidz sedikit menggantungkan kalimat.
Menggenggam erat gelas yang masih penuh, aku terhenyak mendengarnya. Benar ternyata, aku tanpa sadar berbicara yang tak pernah ingin aku ucapkan pada orang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Journey With You
Roman d'amour"Saya akan tunggu kamu besok, bila kamu belum memutuskan, maka setiap hari adalah besok, sampai kamu memberikan jawaban." Sebatas CV taaruf yang Hafidz berikan tiba-tiba, Safa baru menyadari jika doa akan kembali utuh dengan berbagai cara. Bisnis ya...