08. Safaniya Almeera

90 15 0
                                    

DUA belas tahun lalu, pada semester libur yang tidak seperti biasanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

DUA belas tahun lalu, pada semester libur yang tidak seperti biasanya. Berkali-kali batin Hafidz mengingatkan jika manusia mempunyai perjanjian dengan penciptanya sebelum dia ditiupkannya ruh. Mungkin, Umma, Abi dan Adiknya yang baru menginjak usia tujuh tahun kala itu setuju dengan takdir yang sama hingga mereka meninggalkan Hafidz secara bersamaan. Meyakinkan Hafidz jika semua kejadian yang ia temui adalah cara untuk dia lebih melibatkan Allah sedekat mungkin.

Selama mencari ilmu, Hafidz memang seringkali rindu dengan kehadiran orang tuanya. Namun, ia sama sekali tidak pernah meminta orang tuanya untuk menjenguk selain di hari kenaikan kelas.

Lama Hafidz kecewa dengan kata 'andai' yang tertanam dalam hati. Perihal; andai Hafidz tahu jika itu hari terakhir mereka, mungkin Hafidz akan melarang keluarganya datang hanya untuk melihatnya naik panggung sebagai Santri Terbaik. Karena, kecelakaan beruntun yang terjadi membuat Umma, Abi dan Adiknya pergi pada sebaik-baik tempat pulang.

Andai sempat bertemu, mungkin dada Hafidz tidak akan semenyesakkan ini. Namun, kata andai hanya akan mengecewakan lebih dalam jika tidak terwujud.

Libur semester kala itu, Hafidz tinggal sementara di rumah Tante Hanum. Hingga akhirnya, Hafidz bertemu dengan gadis jutek yang dengan sengaja membuang sampah sembarangan di depan Masjid. Padahal, saat itu, Hafidz tengah berdiri di sana seorang diri setelah salat Ashar.

Mengambil gumpalan kertas yang berada tepat di depannya, Hafidz menatap gadis pendek berpipi chubby itu datar.

"Jangan buang sampah sembarangan, kayaknya setiap sekolah kasih ilmu yang sama. Apalagi ini di depan Masjid," ucap Hafidz tajam.

"Sia-sia kalau yang jaga lingkungannya seimbang sama yang buang sampah sembarangan," jawab gadis itu. Wajahnya begitu jutek, bahkan sepertinya overdosis.

Menatap gadis itu yang tidak merasa bersalah sedikit pun, Hafidz memilih untuk membuka gumpalan kertas apa yang gadis itu buang. Ternyata, ini kertas ujian Bahasa Inggris dengan nilai 50.

Safaniya Almeera Zulfa ( VIII C ) begitu nama dan kelas yang tertera di kertas tersebut.

"Kamu tidak bisa bahasa inggris?" tanya Hafidz, menahan tawa.

Gadis itu mendelik, kembali merampas kertas yang tengah Hafidz pegang. "Lagian aku gak bakalan ke luar negeri selain ke Mekkah sama Madinah. Kamu gak tau aja nilai bahasa Arabku gimana, bahasa Arabku 88!"

"Saya gak nanya perihal nilai Bahasa Arab kamu. Lagi pula, bahasa inggris itu lingua franca. Di masa depan nanti banyak peluang besar dengan memanfaatkan kemampuan berbahasa," kata Hafidz kembali datar.

"Kamu gak tau aja gimana guru Bahasa Inggris di sekolah. Galak, selalu merendahkan, padahal aku bukannya gak bisa. Tapi, belum bisa," jawabnya malah bercerita, lalu menunduk dengan wajahnya yang menekuk.

A Journey With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang