MEMELUK boneka beruang cokelat berukuran sedang, aku menatap sekeliling kamar yang sudah terasa kosong. Ternyata, meninggalkan kamar yang sudah menemani belasan tahun cukup menyedihkan. Kelak kamar ini pasti akan sangat jarang aku gunakan jika tidak mampir ke rumah Umi.
"Safa koper kamu cuma satu?"
Menoleh ke arah sumber suara, aku mengangguk melihat Mas Hafidz yang berada dia ambang pintu kamar.
"Iya, soalnya baju Safa sedikit, Mas. Keperluan Safa sudah di koper semua."
Pindah saat ini aku memang hanya menggunakan satu koper berukuran sedang untuk baju, ransel untuk laptop dan segala berkas penting. Dalam lubuk hati, aku ingin membawa boneka ini, namun aku takut jika Mas Hafidz akan sedikit tak suka. Lebih tepatnya, aku takut dia menilaiku sebagai anak kecil lagi.
"Kalau sudah siap Mas tunggu diluar, ya," kata Mas Hafidz, membawa koperku.
Sekelabat memang seperti istri yang tidak mempunyai hati nurani untuk membantu suami. Namun, lagi-lagi aku tidak diizinkan membawa koper menuju mobil oleh Mas Hafidz, berat katanya. Padahal, Mas Hafidz tak tahu saja, jika aku sudah terbiasa mengangkat galon minum semenjak remaja.
Menyimpan boneka beruang itu dengan berat hati, aku segera menutup kamar dan berjalan menuruni anak tangga. Di carpoot sana, Umi sudah berada di dekat mobil. Begitu pun Mas Hafidz dan Aren yang terlihat baru selesai menutup bagasi mobil.
"Sudah selesai semua?" tanya Umi ketika aku mendekati mereka.
"Sudah Umi."
"Berangkat sekarang?" tanya Mas Hafidz, membuat aku mengangguk.
"Aren di depan sama Mas Hafidz," kataku, mengatur posisi.
Aren menggeleng. "Gue cuma nebeng sampai ke tempat les, Kak. Gue nanti ke rumah Bang Hafidz sorean sekalian jemput Umi."
"Oh, iya." Aku cengengesan.
"Umi, Aren sama Safa masuk duluan, Hafidz ke dalam sebentar," kata Mas Hafidz, ia langsung berjalan cepat ke dalam rumah. Sepertinya ada sesuatu yang tertinggal.
"Kunci rumah mana, Mi? Biar Aren yang kunci rumahnya," kata Aren, membuat Umi memberikan kunci rumahnya.
"Kuncinya yang benar, ya!" kata Umi.
"Umi masuk mobil duluan, cuacanya mulai panas," kataku, segera membuka pintu belakang.
"Aku ke dalam sebentar, ya, Umi. Barangkali Mas Hafidz butuh sesuatu," kataku setelah Umi duduk di kursi penumpang.
"Iya, nak. Bantu Hafidz, kasian dia."
Menyetujui ucapan Umi, aku segera memasuki rumah. Namun, belum sampai di ruang keluarga, aku menghentikan langkah saat melihat Mas Hafidz dan Aren tengah berhadapan dengan serius. Seketika aku memundurkan langkah, memilih mendengarkan apa yang mereka bicarakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Journey With You
Romance"Saya akan tunggu kamu besok, bila kamu belum memutuskan, maka setiap hari adalah besok, sampai kamu memberikan jawaban." Sebatas CV taaruf yang Hafidz berikan tiba-tiba, Safa baru menyadari jika doa akan kembali utuh dengan berbagai cara. Bisnis ya...