Dua belas jam berikutnya mereka masih terombang-ambing di tengah laut. Kapal besar tempat mereka menumpang mulai bergoyang. Ketiga rekannya, Nik, Lyra, dan Cesare sudah mencari tempat teduh karena mereka hampir terbangun bersamaan sedangkan Eiran nampak betah duduk di atas salah satu peti kayu muatan para awak kapal.
"Apa kau akan disana terus sampai meleleh?" celetuk Cesare seperti biasa, paling aktif diantara mereka. "Matahari semakin meninggi, cepat berteduh sini!"
Eiran tak langsung menyahut, terlihat dua kali dia menghela nafas. "Mereka akan curiga kalau kita langsung berteduh ketika matahari meninggi, tahu?"
"Tidak tahu." Jawab Cesare sengaja. Menguji kesabaran orang adalah salah satu keahliannya selain menyebalkan.
Saat Eiran hanya menatapnya tajam, Cesare nyengir. "Euhm... aku hanya memberi saran saja." Ungkapnya usai berdehem sekali.
"Mataharinya belum terlalu terik, masih bisa kutahan." Sahut Eiran.
Perbincangan itu berakhir. Satu-satunya yang masih tertidur pulas hanya Yuriel. Gadis itu terkapar layaknya orang meninggal bahkan mungkin tetap tidak akan bangun walau kapal tenggelam. Sinar matahari yang mulai meninggi dan menyengat kulit saja tak mampu membuatnya terbangun. Karena itu, Eiran menempatkan dirinya duduk di salah satu tumpukan kotak guna menciptakan bayangan dari tubuhnya dan menutupi wajah serta sebagian tubuh atas Yuriel.
Disampingnya terlihat buku berjudul Midnight Bride yang ia berikan dalam keadaan terbuka, sudah terbaca sampai setengah. Dilihatnya juga luka-luka di beberapa bagian tubuh gadis itu mulai mengering tanpa diobati, sepertinya semalam ia sempat melihat Yuriel membasuh luka-luka itu dengan air saja.
Tak lama tangan gadis itu mulai bergerak, kedua matanya terbuka lebar dan menyorot langsung pada Eiran. Refleks pria itu mengalihkan pandang lalu berpura-pura melompat turun dari tumpukan kotak dan menghampiri Cesare.
"Mereka sudah membagi makanan?"
Cesare mengerutkan alis. "Bukannya hanya dibagi sekali sehari dan saat makan siang saja?"
"Oh..."
"Hanya itu?" Cesare mendelik lalu mengulurkan tangannya menarik tangan Eiran. "Sini berteduh!"
"Hei manusia--siapapun namamu, pergi pada mereka dan buat seolah-olah semuanya normal. Jangan sampai kami dicurigai!" seru Lyra menitah sudah seperti bos besar saja.
"Kulakukan jika kau bersedia menyerahkan porsi jatah makananmu padaku." Sahut Yuriel sinis.
"Kau bisa ambil jatah milikku." Alih-alih Lyra justru Eiran yang menanggapi.
Yuriel tersenyum singkat seraya mengangguk. "Setuju."
Melihat Yuriel pergi, Lyra melongo tak habis pikir. "Eiran, yang benar saja? Kau membiarkan gadis manusia itu semakin angkuh? Apa kita tidak bisa cari manusia yang lain!?"
"Setelah sepuluh tahun hanya dia yang berani memasuki hutan. Mana mungkin aku menunggu sepuluh tahun lagi, kan?"
"Tapi, dia--"
"Dan ingat apa yang terjadi pada gadis sepuluh tahun lalu. Kau menggigit leher dan menghisap darahnya sampai habiskan?"
Mendengar kilas balik itu, Lyra yang cerewet jadi menciut. "Maaf, aku dalam keadaan sangat haus tak tahan dan saat melihat manusia... begitu."
"Sejauh ini hanya dia yang tidak kau gigit dan hisap darahnya sampai mati." Sahut Eiran lagi.
"Jangankan berpikir untuk mengigit, melihat wajahnya yang mengesalkan saja sudah membuat darahku mendidih!" seru Lyra berapi-api, sangat kesal membahas tentang Yuriel walau sedikit. "Benci sekali aku padanya, huh!"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Bloodline
Fantasy18+ | Yuriel, seorang remaja individualis berakhir tewas di tangan suami baru ibunya. Buku, benda paling favorit dalam hidupnya secara tak terduga justru menjadi perantara yang merenggut nyawanya hari itu. Namun, kehidupan Yuriel belum usai. Ia terb...