XV. Balcony.

3.2K 640 333
                                    

Yuriel tak bisa tidur. Bukan karena ia tegang untuk besok melainkan malam ini langitnya sangat cantik. Bintang-bintang bertaburan merata di atas sana. Yuriel tidak terlalu suka bintang hanya saja ia pernah ingat salah satu kata-kata teman sebangkunya mengenai bintang.

"Yang paling terang adalah ayahmu. Jika kau merindukannya, tatap saja bintang paling terang di langit."

Meski kenyataannya bintang paling terang yang Yuriel lihat merupakan sebuah planet, ia tetap melihat ke sana. Berharap sang ayah benar ada disana. Ya, Yuriel memang bukan anak yang baik karena tak pernah memeluk ayahnya sekalipun tetapi percayalah kalau Yuriel sangat menyayanginya.

"Tegang?" Sapa Eiran merusak suasana.

"Kau lagi?"

"Kau memikirkanku jadi aku muncul." Sahutnya tengil.

"Aku sama sekali tak memikirkanmu!" Bantah Yuriel benar adanya, jelas-jelas dia sedang memikirkan ayahnya.

"Bohong~" sengaja ingin membuat Yuriel kesal, Eiran menyahut demikian. "Katakan saya 'ya, aku rindu pada Sang Pangeran Vampir' begitu."

"Lyra akan mengatakannya untukmu." Ketus Yuriel membalas.

"Kata siapa?" Eiran menatap Yuriel dari samping selagi gadis itu menatap lurus ke depan dengan wajah jengkel. "Dia akan mengatakannya pada siapapun yang menjadi Raja. Seperti... Lyra ditakdirkan menjadi Ratu Vampir meski Rajanya bukan aku, dia tetap aja menjadi Ratu bersama Raja lainnya."

"Aku tidak peduli, tidak mau dengar, masabodo, blablablabla!" Sambar Yuriel berharap dapat membuat Eiran peka dan pergi sebab ia tengah mengusir pria itu secara halus.

Namun yang terjadi Eiran malah mengendus bagian belakang lehernya. "Kau sangat harum, kau tahu? Makanan utama vampir adalah darah. Kau memilikinya."

"Makan saja. Jadikan aku vampir agar aku bisa menghisap darah semua orang sampai mati!" Ucap Yuriel berapi-api.

Eiran meringis. "Kurasa itu alasan mengapa kau tidak terlahir sebagai vampir. Kau akan menghabisi bangsa manusia dalam sekejap."

"Omong-omong kau ingin tahu mengapa aku ingin merebut kembali kerajaan bangsaku, kan?"

"Tidak."

Eiran meringis lagi untuk kali ke dua atas jawaban Yuriel. "Keluarga vampir yang menempati kerajaanku saat ini membiarkan pemburu memasuki wilayah teritorial bangsa kami. Seperti permainan kejar tangkap. Yang tak dapat menghindar akan terbunuh. Begitu terus. Mereka menutup mata akan bangsa sendiri. Bagaimana mungkin aku bisa terus diam? Sudah seratus tahun aku menunggu atau mungkin lebih lama." ucapnya bercerita.

"Menunggu?" Pada akhirnya satu kata dari sekian banyaknya yang Eiran ucapkan berhasil membuat Yuriel tertarik.

"Ya, menunggu. Menunggu seorang gadis sinting datang memasuki hutan dan pingsan diatas semak belukar dalam kondisi kaki berdarah." Jawab Eiran disertai kekehan geli mengingat begitulah kondisi pertama kali saat ia menemukan Yuriel.

"Itu keputusan bodoh." Sahut Yuriel menanggapi. "Kalau aku tahu ada makhluk sinting sepertimu, lebih baik aku pergi ke kota."

"Namun di kenyataan kau tetap pergi dan bertemu denganku." Setelah mengatakan kalimat itu dengan penuh percaya diri, Eiran memegang masing-masing sisi bahu Yuriel.

"Aku sedang mengingat wajahmu untuk ditulis seindentik mungkin dalam buku sejarah bangsaku apabila kau tak selamat besok , Yuriel." Katanya dengan wajah tersenyum yang menyebalkan, cocok untuk ditinju dengan keras.

"Keterlaluan." Komentar Yuriel mencibir, tetapi lalu ia tersenyum tiba-tiba padahal yang Eiran katakan tidak mengandung lelucon sama sekali. "Tapi tidak masalah selagi aku akan dikenal sebagai pahlawan bagi kaum kalian. Menandakan kalau kaum vampir yang katanya abadi ternyata lemah karena membutuhkan bantuan manusia untuk mengambil sebutir liontin dari tangan pemburu."

The BloodlineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang