Serenity (16)

1.1K 155 16
                                    

Benaya memperhatikan sosok wanita yang berdiam diri di depan unit apartemennya. Jelas dia tahu siapa wanita itu, lalu apa lagi yang diinginkannya hingga betah berdiri di depan setelah ia abaikan semua pesan dari wanita itu di hari pertemuan makan malam hingga saat ini mereka tidak ada lagi ikatan sebagai pasangan.

Benaya akui masih ada rasa cintanya untuk Amara, namun untuk kembali bersama Benaya tidak bisa. Mereka berdua memang terlalu bebas sejak awal, sama-sama menyukai sex, itulah kenapa mereka berdua cocok saat pertama kali bertemu. Walau begitu Benaya tidak menyimpan rasa suka dengan wanita lain jika hatinya sudah ada yang mengisi, itulah bedanya Amara dan dirinya.

Dari pada bertemu dengan Amara, Benaya lantas berbalik memutuskan untuk pulang ke rumah saja. Lagipula sang mama terlihat rindu dengan putra tampannya ini. Sesampainya di basemant, tiba-tiba segerombolan pria menarik dirinya tanpa kejelasan apa pun. Dia kalah telak, jelas. Benaya tidak bisa melawan dipaksa masuk kesebuah mobil.

Dalam pikirannya Benaya telah menyusun banyak rencana untuk membalas setelah sampai pada tujuan nanti. Dia tidak bisa menebak memang mereka ini suruhan siapa,  tidak mungkin suruhan Amara yang sempat mengiriminya pesan untuk tetap tidak melepaskannya, sedangkan wanita itu tadi ada di depan unitnya. 

Segala rencana Benaya hilang entah kemana manakala mobil yang membawanya memasuki gerbang sebuah rumah yang jelas saja familiar untuknya. Di depan rumah ternyata sudah ada papanya yang menunggu, ada apa ini? Benaya sama sekali tidak bisa menebak.

"Pa."

"Bawa masuk." Perintah Jeffrey kepada orang-orang yang membawa putranya. Ia abai dengan sang putra yang meminta penjelasan darinya.

Sampai pada ruang tengah yang terlihat cukup ramai, dan diantara keramaian itu Benaya mendapati seorang wanita yang menatap khawatir padanya.

Brianna yang gelisah sejak tadi menunggu Benaya di jemput, lebih tempatnya sepertinya dipaksa untuk pulang ke rumah, Brianna takut semisal Benaya melawan dan berakhir luka-luka. Melihat dengan mata kepala sendiri bahwasanya pria itu baik-baik saja, Brianna sedikit lebih tenang.

Tidak seperti di rumahnya tadi, setibanya dikediaman Killian, kedua orang tua Benaya seperti orang berbeda, lebih tepatnya ibunya Benaya yang tadi terlihat lembut kala menemuinya. Sekarang lihatlah, tidak ada ekspresi lain selain datar dari keduanya. Brianna tidak menyangka semua ini ada kaitan dengannya.

"Siren." Panggilan dengan nada cemas itu Brianna sambut dengan terburu-buru. Ia menghampiri Benaya tidak perduli dengan para pria berwajah menyeramkan yang mengelilingi Benaya.

"Kakak tidak apa-apa, kan?"

"Kamu kenapa berada di sini? Orang tua saya tidak berbicara aneh-aneh, kan?" Benaya mengerti sekarang, orang tuanya mengetahui perihal Brianna, lebih cepat dari dugaannya.

"Tidak kok." Jawab Brianna yakin.

"Baguslah." Ujar Benaya lega. "Sudah, jangan memasang ekspresi seperti itu. Semua akan baik-baik saja."

"Saya tidak yakin." Brianna mendongak memperhatikan Benaya yang terlihat tenang tidak seperti diawal.

"Benaya." Suara bariton itu membuat Brianna menegang takut. Ia remat lengan Benaya mengisyaratkan untuk tidak mendekat ke ayahnya itu.

"Kita kabur saja, Kak." Tutur Brianna pelan.

Benaya yang melihat Brianna setidak tenang itu, berakhir mengelus tangan Brianna yang melingkar di lengannya. Menatap dalam sang ibu hamil ini serta membisikkan kata-kata penenang, berharap Brianna mengenyahkan pikiran buruknya.

Roseanna melihat ke arah Regina mengisyaratkan gadis itu membawa Brianna menjauh dari Benaya. Regina yang mengerti segera menghampiri Brianna.

"Anna, mereka hanya akan berbicara selayaknya anak dan orang tua. Tidak apa-apa, Benaya tidak akan mati kok." Kata Regina sedikit frontal membuat Benaya seperti ingin mengunyah Regina. Cara membujuk apa seperti itu?

Serenity Killian Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang