Serenity (33)

699 89 5
                                    

3 hari sebelum acara Emery Group, orang-orang suruhan Benaya baru bisa masuk ke dalam rumah milik Soraya pada pagi harinya atas permintaan Brianna. Berbekal dari informasi orang yang berhasil menyusup, di jam kerja siang harinya Brianna pergi ke rumah Soraya. Brianna pergi ke sana ditemani oleh Renjun, usulan dari Benaya untuk keselamatan Brianna tentu saja.

"Kalau sudah siap kita turun." Renjun menoleh ke Brianna yang bersandar sembari memejamkan matanya.

"Kenapa buru-buru? Pelakunya saja masih diperjalanan kok."

"Memangnya kamu tidak rindu pada mereka? Setidaknya temui mereka dulu."

"Aku masih bisa menahannya, Kak. Saat menemui papa dan mama bukankah aku harus membawa hadiah spesial?"

Renjun menyandarkan tubuhnya mengikuti Brianna, hanya saja matanya mengamati bangunan tepat di hadapan mereka. "Memang tidak bisa dibohongi, kita memiliki darah yang sama."

"Maksudnya?" Brianna mengerutkan alisnya menatap Renjun bingung.

"Tidak sadarkan kalau kamu itu pendendam?"

"Bukannya normal ya? Siapa pun pasti memiliki dendam jika kasusnya seperti aku."

Renjun ngangguk membenarkan, "caranya yang membedakan, Dek."

"Habisnya jika membalas mereka terburu-buru mana memuaskan."

"Sekarang kamu paham kan kenapa kakek tua bangka itu masih bernapas? Sejujurnya, jika papa mau, kakek sudah dalam kondisi mengenaskan saat ini. Tapi lihatlah, fisiknya tanpa goresan luka dari papa atau mama. Padahal jelas, dia tega ingin membunuh bayi tidak bersalah yang merupakan cucunya sendiri. Kita perlu waktu yang tepat untuk membalaskan rasa sakit agar menjadi berkali lipat." Jelas Renjun.

"Kalau memang keluarga kita begitu, kenapa Alden masih berhubungan dengan wanita itu setelah tahu kalau wanita itu musuh adiknya? Dia bersikap seperti tidak terjadi apa-apa. Dan mungkin Alden akan menjadi musuhku selanjutnya apabila dia melindungi Soraya."

"Alden itu memang cara berpikirnya berbeda denganku dan papa. Tapi tenang saja, Alden tidak akan bisa menandingi papa."

"Menandingi dalam hal apa?"

"Menghilangkan nyawa, mungkin."

Brianna melirik Renjun yang tiba-tiba tertawa. Apa coba yang lucu dari pembahasan ini?

"Saat kejadian itu aku berumur 4 tahun dan Alden 2 tahun. Kejadian seperti itu tentu akan diingat sampai kapan pun oleh balita. Dan ya, tidak menutup kemungkinan menjadi trauma." Lanjut Renjun lagi. Yang ini dia tidak tertawa lagi, ekspresinya santai seperti ceritanya tidak mengandung sebuah tragedi saja.

"Sejujurnya Soraya itu sedikit gila. Terkadang dia lupa kalau dia telah melukai orang. Akibat dari pola asuh kedua orangtuanya yang suka memperlihatkan kekerasan, karena itulah kami tidak ingin terlalu berurusan dengan mereka, dan alasan terbesar selain karena mereka hanya memanfaatkan kami sebagai ATM. Dulu aku sempat mengulurkan tangan ku untuk membantunya, tapi dia menolak, dia lebih melihat bahwa aku adalah musuhnya. Alasan ini juga yang membuat aku tidak setuju kalau Soraya dengan Alden."

"Ha ...." Renjun menghela napas lelah, "hidup banyak sekali masalah."

Brianna mengangguk setuju, "aku juga heran."

^^^^^^

Sekitar jam 4 sore yang ditunggu-tunggu akhirnya datang. Maklum sedikit lama, lintah darat ini langsung diseret dari Bali ke Jakarta hari itu juga. Keduanya masih setengah sadar di ikat ke kursi di hadapan Brianna yang tengah nyemil sore itu. Brianna wanita yang sangat sabar, buktinya dia tetap menunggu dua orang itu sadar sepenuhnya tanpa hilaf menyiram mereka dengan air.

Serenity Killian Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang