Serenity (28)

941 129 8
                                    

Halo! Aku gak update semingguan ini karena tangan ku sakit, kalau dipaksa ngetik takutnya gemetaran seperti dulu. Akhir-akhir ini aku keseringan ngetik di hp soalnya, di laptop aku kurang suka, bikin ngantuk kalau di laptop. Ini aku ngetik bentar-bentar, soalnya masih sakit. Jadi kalau ada typo atau kurang dari segi dialog, narasi, sama feel-nya, maaf banget, ya.

Ada yang kurang komen aja, nanti tak revisi.

^^^^^^

"Tidak mau istirahat dulu, Ge?" Anneliese menatap putranya bingung.

"Tanggung, Ma. Mending sekalian saja." Dia sibuk membongkar kopernya untuk mengambil dokumen yang dititipkan padanya.

"Kalau kamu tidak keberatan sih Papa ikut saja." Timbal Ethan.

"Memangnya masih ada berkas pembelian kalung adek? Itu kan sudah lama sekali."

"Ada lah. Ini buktinya aku bawa." Dia menjawab pertanyaan Alden.

"Kita bawa apa saja sebagai bukti? Yang pasti ini kalung sudah ku ambil di rumah Soraya." Tanya Alden lagi.

"Nama adek tuh bisa menjadi bukti yang kuat, kan tidak mereka ganti sesuai dengan nama di kalung yang adek pakai." Timbal Anneliese. "Bukti pembelian, akte kelahiran, tes DNA, warna mata kita juga sama. Gege kamu nih yang ikut papa, kita bertiga sama." Jelas Anneliese.

"Aku juga mendapatkan alamat orang yang membawa adek malam itu, sekarang beliau sudah aku amankan. Beliau bilang mereka hampir saja tertangkap, jadi dengan random menitipkan adek kepada pasangan suami istri asing waktu itu. Itu lebih baik daripada mempertahankan, bisa saja adek sudah tiada kalau mereka tidak mengambil keputusan itu. Kesaksian mereka sudah aku rekam sebagai bukti tambahan."

"Pesona pewaris memang beda ya auranya." Alden pura-pura kagum.

"Padahal dia sendiri pewaris. Sendiri tidak sadar."

"Jangan berkelahi dulu." Anneliese menegur kedua putranya. Terus dia melihat ke putra sulungnya. "Itu memang bisa menjadi bukti kuat, seandainya kedua orang tua angkat adek masih hidup. Tapi tidak apa-apa, adek pasti ada foto dia masih bayi."

"Kalau nanti adek masih tidak percaya, kita tes DNA ulang saja." Kata Ethan yang tidak ambil pusing.

"Oke, semisal adek percaya kalau dia bagian keluarga kita, tapi dia marah karena kita sudah membuangnya, bagaimana?" Alden bertanya pada sang papa.

"Ya kita jelaskan juga dong kenapa adek sampai harus kita titipkan dengan orang sementara waktu. Kalau masih tidak percaya, bawa saja adek kehadapan kakek tua bau tanah yang kolot itu. Tapi adek harus punya persiapan, karena adek seperti bunuh diri."

"Itu gegabah, Papa!"

"Terus menurut Renjun Ge bagaimana?" Ethan menatap putra sulungnya.

"Setidaknya adek harus berani menikam orang. Karena jujur saja, aku ingin kakek kolot itu mati di tangan orang yang ingin dihabisinya dulu. Sekalian bawa Agatha, pamerkan kepada orang kolot itu, biar dia mati semakin tidak tenang."

"Itu ide bagus!" Alden menepuk pundak kakaknya bangga.

"Jangan bagus-bagus dulu kamu." Anneliese menegur Alden. "Siapa tahu adek orangnya tidak tegaan, mana mau dia."

"Orang akan tega semua kalau diliputi dendam, Ma. Nanti kita buat rencana." Renjun menenangkan mamanya.

"Papa setuju sama gege." Ujar Ethan. "Jadi sudah setuju semua ini kalau besok kita ke menemui adek? Kondisi adek sudah stabil kan ya?" Ethan menanyainya anggota keluarganya.

"Menurut informasi dan pengamatan ku sendiri, kondisi adek sudah sehat sekarang. Keluarga suaminya juga baik, jadi adek tidak mungkin mengalami stress. Suaminya juga sangat bertanggung jawab." Alden menjawab yakin.

Serenity Killian Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang