02. "Bunda Tidak Marah?"

562 80 39
                                    

— ᴛʜᴇ ʙᴇꜱᴛ ᴍᴏᴍ —

"Garam?"

"Gula?"

"Tambah garam nanti tambah asin."

"Tambah gula nanti tambah manis."

"Tapi di rumah sakit tidak ada rasanya."

"Jadi, jangan pakai garam ataupun gula."

"Segera menyesal, ya, nasi~"

"Aduh, panas!"

Embun meniup jari telunjuknya sendiri, dia pikir panci yang digunakan untuk membuat bubur itu tidak panas. Sepertinya harus beli panci yang mahal, panci yang anti-panas.

Ketika sedang bingung dengan nasi yang tak kunjung menjadi bubur itu, tiba-tiba saja Nadin datang terburu-buru. Anak gadis itu kini membungkuk dengan napas tidak beraturan, detik berikutnya dia menegakkan tubuhnya dengan kepala yang tertunduk.

"Bunda maaf, Nadin bangun kesiangan, seharusnya Nadin tidak minum obat semalam, jadi Nadin tidurnya tidak nyenyak," sesal Nadin.

Embun mengulurkan tangannya, Nadin secara reflek mundur selangkah seperti menghindar dari sentuhannya. Alhasil, kini tangan Embun mengapung di udara, tak sampai menyentuh tubuh Nadin untuk sebuah usapan menenangkan. Menerima itu, Embun membalik telapak tangannya untuk memastikan, ia mengendusnya barangkali ada aroma tidak sedap.

"Maaf!" Nadin tiba-tiba saja berlutut, kedua tangan gadis itu menyatu tapi ia masih kuat menunduk. "Nadin minta maaf, Nadin seharusnya bangun lebih pagi dari Bunda, Nadin sudah melanggar peraturan, maafin Nadin~"

Embun menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, dia jadi bingung. Barangkali dia amnesia, hilang sebagian memorinya setelah kecelakaan.

"Duh, bukan masalah, kok," ucap Embun, ia turut berlutut hingga sejajar dengan Nadin. Kemudian, ia meraih kedua lengan Nadin. "Bunda lagi buatin bubur buat kalian, kenapa kamu tidak istirahat saja di kamar? Nanti Bunda antar."

"Hah?!" kaget Nadin.

"Oh?" bingung Embun. "Kenapa? Biasa saja, dong."

"Ta-tapi, tapi Bunda, Bunda tidak bisa memasak," kata Nadin gugup.

Embun membekap mulutnya sendiri sambil cekikikan. Benar, Embun mengakui fakta menyedihkan itu. Menyedihkan baginya, mengingat ia seorang perempuan yang biasanya jago dalam hal memasak.

"Bunda lagi belajar, nih!" kata Embun. "Kamu kayaknya berpengalaman dalam memasak, bisa bantu?"

Nadin mengangkat pandangannya secara perlahan. "Bunda tidak marah?"

"It's okay, Sayang." Embun berucap seraya membelai wajah Nadin, sorot matanya benar-benar berbinar. "Sekarang bantu Bunda, ya? Bantu belajar bikin bubur, takutnya tidak jadi-jadi."

Nadin melirik jemari Sang Bunda yang begitu rajin membelai wajahnya, dengan penuh kasih sayang pula. Rasanya Nadin mendapat kasih sayang yang selama ini menghilang.

"Ayo bangun!" ajak Embun. "Bunda baru belajar masak air, terus tahu-tahu gosong, soalnya ditinggal belanja dulu pas masak airnya, hehe."

"Eh?" kaget Nadin. Bukan Bundanya banget kalau begini, tidak serius itu bukan Bundanya. "Bunda duduk saja, biar Nadin lanjutkan."

"Kapan Bunda bisanya kalau begitu?" tanya Embun. "Kamu saja yang duduk, tapi kamu kasih tahu harus bagaimana—JADI!"

Nadin terperanjat kaget, ia menutup kedua telinganya sebab pekikan Sang Bunda yang begitu melengking. Detik berikutnya, Embun tiba-tiba saja memeluk Nadin sambil berjingkrak kegirangan sebab nasi yang sudah berubah menjadi bubur di sana.

The Best MomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang