Selesai

651 78 27
                                        

— ᴛʜᴇ ʙᴇꜱᴛ ᴍᴏᴍ —

Starla memandang teduh ke arah ranjang rumah sakit yang menjadi tempat Embun dirawat. Di kursi dekat ranjang rumah sakit itu ada dr. Jelita, seorang dokter ahli sekaligus sahabat Embun. Dia benar-benar setia menemani sahabatnya, padahal sebelumnya dia sempat marah karena sahabatnya terus mengatakan omong kosong.

"Dari dulu, Embun tidak punya keluarga," ungkap Jelita. "Dia bilang, dia hidup kesusahan sendirian, jadi saat aku ketemu sama dia, aku temani dia terus."

Starla melangkah mendekat.

"Saat dia masih sehat, sampai dia sakit seperti sekarang, aku terus temani dia," tutur Jelita. "Jadi, aku tidak boleh menyesal jika suatu waku Tuhan mengambilnya, bukan? Sebab aku sudah banyak menghabiskan waktu dengannya."

"Tuhan lebih menginginkannya, begitu maksudmu?" tanya Starla.

Jelita mengangguk. "Ya, itu maksudku. Tuhan jauh lebih menginginkannya, dan Tuhan adalah sebaik-baiknya perencana dalam hidup setiap insan."

"Parah banget, ya?"

"Prediksi-ku, dia harusnya bangun dari satu jam yang lalu, tapi sampai sekarang belum juga," ungkap Jelita. "Ini bukan parah lagi, tapi sangat parah."

Starla mengulurkan tangannya pada wajah Embun, jemarinya itu mulai mengusap-usap dahi gadis yang sudah baik menggantikan perannya sebagai seorang ibu bagi anak-anak. Dia disebut berhasil menjadi seorang ibu yang baik, meskipun tidak berpengalaman tetapi berkat dia, anak-anak yang takut akan sesosok ibu menjadi lebih menerima.

"Ginjalnya cocok dengan Nadin," ucap Jelita dengan sedikit keraguan. "Nadin membutuhkannya, bukan? Kamu datang ke sini untuk memohon bantuan itu, kan?"

Starla menggeleng. "Tidak. Kedatanganku ke sini bukan untuk itu, tapi untuk memastikan keadaannya."

"Tapi kamu tahu, kan? Kalau ginjalnya Embun ini cocok sama Nadin, dan Nadin membutuhkan donor segera."

"Aku tahu," aku Starla. "Tapi sungguh, aku datang ke sini untuk memastikan keadaannya. Aku khawatir, apalagi setelah mendengar kalau hidupnya sudah sangat menderita."

Jemarinya bergerak, tentu saja menjadi sebuah pertanda kalau Embun mulai menemukan kesadarannya. Jelita beranjak berdiri, ia meraih lengan Embun untuk memastikan denyutnya. Ini nyata, Embun berhasil menemui kesadarannya kembali.

"Mbun!" panggil Jelita teramat sangat bahagia. "Hei, Embun. Aku tahu, aku tahu, aku tahu kamu akan bangun, aku tahu kamu bisa melewati semua itu, aku tahu."

"Jel~" panggil Embun dengan suara yang serak. Ia menyungging seulas senyum padanya. "Sakitnya kebangetan ini, kalau distop semuanya bisa, ngga?"

"Mbun, jangan bicara begitu, deh."

"Aku masih ngantuk, nih," ucap Embun. "Tapi aku harus lihat dulu muka kamu, Jel."

"Maksud kamu?"

Embun tertawa kecil. "Samar banget, buram, aku ngga bisa lihat kamu, terus yang di sebelah sini siapa? Ada orang lain selain kamu di sini, kan?"

"Ini aku," sahut Starla.

"Owh~" Embun manggut-manggut pelan. "Bunda yang jahat itu, ya? Haha, kenapa kamu di sini?"

"Sembuh, Mbun," ucap Starla.

"Bunda," panggil Embun. "Boleh, kan? Aku mengantuk, kalo ngga keberatan bisa tepuk-tepuk bagian lengan, ngga? Biar tidurnya nyenyak."

Starla menatap ke arah Jelita terlebih dahulu, baru setelah  mendapat persetujuan darinya ia menuruti permintaan Embun. Starla tidak hanya menepuk-nepuk lengan Embun sebagai pengantar tidurnya, tapi Starla pun menambahkan senandung menenangkan untuknya.

The Best MomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang