— ᴛʜᴇ ʙᴇꜱᴛ ᴍᴏᴍ —
"Kamu boleh panggil aku dengan sebutan Bunda juga."
Embun mendelik. Apa katanya? Apa Embun tidak salah dengar? Starla mempersilakan Embun menyebut namanya dengan sebutan Bunda? Tidak, Embun yang tidak percaya langsung mencubit pinggang Starla, alhasil wanita itu menjerit sakit.
Embun cengengesan sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, jadi malu sudah mencubitnya barusan.
"Belum aku angkat jadi anak sudah membuat ulah kamu!" pekik Starla. "Sakit, tahu."
"Maaf, aku pikir ini mimpi," kata Embun masih cengengesan. "Kenapa tiba-tiba kepikiran begitu? Aku itukan sudah mencelakai kamu sama anak-anak."
"Tapi emosiku jadi lebih stabil rasanya," ucap Starla, ia mengalihkan atensinya pada Embun. "Terkadang emosiku selalu melonjak, tapi itu tidak sesering dulu. Kamu menabrak-ku dengan tepat."
Embun meringis dibuatnya. "Memang ada? Orang ditabrak tepat sasaran?"
"Oh ayolah!" pekik Starla sembari merangkul lengan Embun. "Sebut aku Bunda, kamu sudah baik merawat anak-anak, kamu sudah buat anak-anak bisa melanjutkan hidup mereka."
Embun terpaku membisu. Bagaimana dia mengatakan tentang Nila? Salah satu anak Starla itu mengalami gangguan trauma pasca pulang dalam keadaan mabuk berat. Parahnya, anak itu bisa saja menjadi korban pelecehan yang dilakukan oleh ayah kandungnya sendiri.
"Coba, sebut aku dengan panggilan Bunda," pinta Starla. "Ayo, panggil dengan suara yang lembut, cepetan."
"Aish!" geram Embun, ia melepas lengan Starla yang sejak dari bergelayut manja. "Dasar wanita kurang kasih sayang! Minggir, aku mau pulang. Aku mau ketemu sama anak-anak, mau bersenang-senang sama mereka, tanpa kamu!"
"Tidak!!!" Starla memekik tak terima. "Apa kamu tega? Aku Bunda mereka, aku juga mau bermain dengan mereka, bersenang-senang dengan mereka."
"Tapi mereka tahunya kamu sudah mati," sesal Embun. "Jika kamu pulang pun, kamu akan ditakuti, muka kamu kayak setan soalnya."
"Heh!!!"
Embun cekikikan. "Bercanda. Minggir, biarkan aku pulang sekarang, aku khawatir Si Brengsek itu tahu rumahku, khawatir sama anak-anak yang paling utama."
Dering panggilan masuk mengalihkan segalanya, buru-buru Embun merogoh ponselnya dan melihat nama Nadin tertera di sana.
"Halo, ada apa, Nad?"
"Bun, Nila sudah tahu semuanya, ya?"
Embun melirik ke arah Starla, wanita itu terlihat seperti penasaran. Mengerti akan keadaan, Embun lantas menggunakan sistem loudspeaker agar suara Nadin kedengaran. Starla pasti merindukan anak-anaknya, jika belum bisa bertemu, setidaknya Starla mendengar suara salah satu dari mereka.
"Bun, Nadin sama Gempita bakalan berusaha buat meyakinkan Nila. Bunda jangan khawatir, ya?"
"Na—"
Belum sempat menyelesaikan ucapannya, Embun sudah lebih awal membekap mulut Starla yang hampir saja bersuara. Embun melotot padanya, memberinya peringatan. Wanita segalak Starla jadi tunduk ketika berhadapan dengan Embun.
"Terima kasih, Nadin," ucap Embun. "Tapi apa kamu yakin? Bunda rasa, Nila tidak akan mudah menerima Bunda."
"Nila harus menerima, karena selama ini Bunda sangat baik sama kita, jadi Nila harusnya sadar akan hal itu."
Dengan sebelah tangan yang masih membekap mulut Starla, Embun manggut-manggut mengerti perkataan Nadin. Si anak pertama itu selalu diandalkan, dia jadi merasa sangat terbantu setelah Embun diakuinya sebagai Sang Bunda.
"Bunda lagi di mana?"
"Ini, Bunda lagi, lagi di Mars. Eh, Bunda lagi di jalan, iya di jalan, mau pulang," jawab Embun belepotan. "Bunda matiin dulu, ya? Bunda mau lanjut jalan pulang."
Panggilan terputus, tapi Embun masih membekap mulut wanita itu. Starla juga hanya diam, pasrah karena tidak punya banyak tenaga untuk melawan.
"Astaga!" pekik Embun saat menyadarinya. "Ya ampun, maaf. Maafkan aku, aku pikir kamu sudah mati."
"Hei!!!"
— ᴛʜᴇ ʙᴇꜱᴛ ᴍᴏᴍ —
Nadin mengerutkan dahinya, di pertengahan jalan pulang tiba-tiba saja dia merasakan sakit pada perutnya. Ia menaruh sekantung plastik berisi makanan yang dipesan oleh para adik. Karena Bunda Embun belum pulang, adik-adik lapar ingin makanan, jadi Nadin keluar rumah untuk membelinya.
"Sakit banget~" rintih Nadin seraya meremas pinggangnya yang mulai terasa nyeri juga. "Ah, kenapa harus sesakit ini, sih? Sebenarnya aku kenapa?"
Nadin sudah berkeringat, dia tidak bisa melanjutkan langkahnya sebab rasa sakit yang semakin terasa. Bibirnya pun terlihat pucat pasi, ia duduk di bangku terdekat. Padahal hanya butuh beberapa langkah lagi untuk sampai ke rumah, tapi rasa sakitnya malah menahan ia melangkah lagi.
"Bunda, sakit~" lirih Nadin.
Tidak ada siapa-siapa di sekitarnya, jadi dia kesakitan seorang diri. Lalu, ada seseorang yang datang menghampirinya. Pikirnya dia orang baik, tapi ternyata Nadin salah.
"Kenapa?" tanya pria itu—Sam. "Habis beli apaan, nih? Kelihatannya enak-enak."
"A-yah," panggil Nadin. "To-long, sakit~"
"Lebay!" hardik Sam, ia menepis tangan Nadin yang terulur meminta bantuan. "Apa, sih?! Dasar anak tidak tahu diri!"
Nadin makin meringis, remasan di bagian perutnya pun semakin kuat. Di saat Nadin menahan sakitnya, ada Sam yang dengan santainya membuka salah satu makanan dari kantung plastik bawaan Nadin. Pria itu dengan tanpa perasaan menikmatinya, duduk santai seolah tidak terjadi apa-apa.
"Jangan sakit-sakitan, kamu itu mau Ayah jual ke teman Ayah," kata Sam. "Kamu mau punya uang banyak, kan? Ayah punya kenalan, nanti kamu sama kenalan Ayah saja, menikah."
"Tidak!" tolak Nadin dengan cepat.
"Oh ayolah, kamu masih suci tidak seperti dua adikmu, Ayah sudah pernah mencoba mereka," ungkapnya dengan tanpa rasa bersalah. "Kamu sama Gempita bakalan Ayah jual, lumayan uangnya bisa buat—"
BUKH!
Tas yang terbuat dari kulit asli itu berhasil menghantam kepala botak milik Sam. Embun datang tepat waktu, dia berkemungkinan bisa menyelamatkan Nadin dari bahaya.
"SIALAN!" umpat Sam. "Wanita biadab!"
Embun memutar malas bola matanya. "Dasar iblis! Bahkan mungkin iblis saja kalah dengan sikap sialan-mu itu!"
"SIALAN!" geram Sam, setelah mengangkat tangannya Embun dengan cekatan mencekal. Sorot mereka saling bertaut, berperang tatapan terlebih dahulu sebelum sampai pada perang sesungguhnya.
"Hei, Nadin!" seru Sam. "Kamu lihat siapa wanita ini? Kamu lihat siapa wanita tidak sopan ini?"
"PERGI!" jerit Nadin. "Pergi dari sini, Brengsek!"
"BERANINYA KAMU!" sentak Sam yang spontan menampar pipi Nadin.
"DASAR PRIA BRENGSEK!" balas Embun tak menerima. "Jangan menampar anak saya, Sialan!"
"Anak?" Sam bertanya, Sam tertawa sekarang. "Anak siapa? Sudah jelas-jelas kamu itu cuma perempuan yang mengaku-ngaku saja!"
Embun beralih menghampiri Nadin, memegangi kedua tangannya berharap bisa menyeimbangkan tubuhnya.
"Mau tahu fakta yang mengejutkan?" tanya Sam. "Berita soal Bunda Starla yang ditabrak oleh seseorang."
Embun menatapnya tidak percaya, dalam hati terus berharap agar tidak terungkap hari ini. Dia sedang dekat-dekatnya dengan anak-anak.
"Lihat ini, fotonya sangat jelas, yang menabrak kalian malam itu adalah dia, perempuan tidak tahu diri ini, pembunuh!"
"Apa?"
"Pembunuh!"
— ᴛʜᴇ ʙᴇꜱᴛ ᴍᴏᴍ —

KAMU SEDANG MEMBACA
The Best Mom
Fanfiction[COMPLETED] Sinb ft Aespa "Aku tidak takut mati, aku takut anak-anak mati sebelum aku." - Embun Selina.