16

113 3 0
                                    

Varsya Jemima. Remaja berusia 18 tahun itu kini tengah menuangkan bensin pada buku buku yang kini sudah berserakan di lantai. Tatapannya kosong, matanya sembab. Ia hancur, benar-benar hancur.

Hari ini dirinya baru tersadar penuh bahwa semua yang ia lakukan kini sia sia. Perjuangannya, rencananya, semuanya kini telah hancur.

Harapan? Harapan apa yang bisa menghapus sebuah tinta hitam yang sudah menodai kertas putih? Pertanggungjawaban? Pernikahan? Cinta? Asya tak menginginkannya lagi. Bukan itu yang ia mau.

Lalu, untuk apa lagi? Untuk apa lagi ia hidup? Tak ada yang bisa ia banggakan lagi pada dirinya.

Janin sialan itu merusak segalanya. Dan laki-laki itu, laki-laki itu akar dari segalanya.

Tanganya terulur mengambil korek api yang berada di tempat tidurnya. Katakanlah ia sudah kehilangan kewarasanya. Perempuan itu hendak membakar semua buku bukunya tepat di dalam kamarnya.

Dinyalahkannya api itu lalu ia lemparkan dan berhasil membakar kertas-kertas itu dengan cepat. Api membumbung tinggi. Dan dengan cepat api itu merembet mengenai tirai dan barang barang lainnya.

Gadis itu mengambil beberapa lukisannya lalu ia melemparkannya kedalam api begitu saja. Semuanya sudah tak berguna. Akan bagus jika dirinya ikut terbakar disini.

BRAK!

Pintu kamarnya terbuka lebar kala Asya hendak melangkahkan kakinya masuk ke dalam kobaran api itu.

"ASYAAA!!"

"AL CARI AIR!!"

"ASYAA!! NAK!! YA TUHAN! ASYA!!!"

Arta, dan kedua orang tuanya datang. Dengan cepat Raden berlari menarik Asya menjauh dari kobaran api itu.

Menatap Asya dengan khawatir, Gita langsung menarik perempuan itu kedekapannya.

"Sayang! Kamu mau apa hah?! Jangan sakitin diri kamu!!" Sentak Gita.

Asya hanya menatap Gita tak minat, rasanya air matanya kini telah habis. Dirinya sudah sama sekali tak bertenaga.

Raden membuka jendela kamar Asya agar asap yang mengepul itu keluar dari ruangan itu lalu membantu Arta menyiramkan air yang Arta bawa dari kamar mandi.

"Sini, ikut mama." Ucap Gita menarik Asya untuk duduk di kursi yang berada di ruang tamu Asya.

Duk!

Gita bersimpuh. Ia duduk di bawah tepat di hadapan Asya. Asya tak bergeming, ia hanya menatap Gita dengan tatapan datarnya.

"Maaf, maafin anak mama.." Ucapnya terlihat parau, air mata wanita itu luruh tak menyangka jika ternyata korban dari anaknya akan sehancur ini.

"Maafin Ala, Asya" Ucapnya lagi.

Sedangkan Asya masih tak bergeming. Raden yang baru saja keluar dari kamar Asya syok melihat istrinya itu bersimpuh di hadapan Asya. Laki-laki itu mengusap wajahnya frustasi. Di tatapnya sang anak yang mematung melihat seseorang yang paling ia sayang merendahkan dirinya karna ulah dari dirinya sendiri.

"Liat, puas kamu liat mamah kamu kaya gitu?" Tanya Raden.

Tangan Arta mengepal. Ia semakin marah pada dirinya sendiri. Sepulang tadi, ia membicarakan tentang Asya yang hendak menggugurkan kandungannya dan membatalkan pernikahan mereka kepada orang tuanya. Namun sang ibu malah memarahinya, ia menjelaskan pada dirinya hingga kini ia mengerti bahwa Asya itu korbannya. Ia lebih tersakiti karna dirinya. Seharusnya ia berjuang untuk membuat Asya mengerti,bukan malah mengancam gadis itu sampai Asya bersikap seperti ini. Seharusnya ia lebih mengerti, seharusnya ia bisa mengontrol emosinya.

ARTALARIICKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang