Bab XVII

155 31 2
                                    

Happy reading

Pagi ini, kondisi Jieun sedang tidak baik-baik saja. Ia mengalami pusing dan flu, sehingga membuatnya harus memakan pil untuk menghentikan flu-nya.

Senin merupakan hari yang paling Jieun benci, setelah kejadian kemarin, memang kondisinya menjadi down, tetapi guru itu tak berniat libur. Jika melakukan itu, rasanya hanya akan semakin membuatnya overthinking, jika mengajar, pikirannya bisa diinterupsi.

"Miss, saya tidak mengerti dengan soal nomer 24 ini." Seorang mahasiswi mengangkat tangannya, sembari mempertanyakan hal yang sedari tadi mengganjal hati.

Jieun yang sedang membaca materi lanjutan itu mengalihkan pandangannya, menatap pada mahasiswi yang duduk di bangku kedua, samping kirinya.

Semua murid memasang kuping, mereka sama bingungnya.

Guru bahasa Inggris itu menghampiri sang murid yang bertanya, membaca soal yang memang sedikit ambigu. Lantas, berjalan dan memilih berdiri di samping meja miliknya.

"Nomer 24 bonus, tidak perlu diisi, tetapi kalian tetap mendapatkan poin untuk nomer tersebut," titahnya dengan lantang.

Seruan kebahagiaan memenuhi ruangan tepat saat Jieun selesai dengan kalimatnya, wajah murid-murid jadi ceria.

Tak kembali duduk, Jieun memilih untuk berjalan-jalan di kelas, mengawasi. Murid sedang mengerjakan latihan akhir bab, bukan ujian. Tetapi Jieun tetap harus mengawasi muridnya.

Setelah dirasa cukup, Jieun memutuskan untuk berdiri di belakang kelas. Dari posisi itu, murid bandel tak akan bisa bertukar jawaban dengan temannya.

"Ayo, lima menit lagi. Kita harus memasuki bab lain, agar tak ketinggalan saat ujian nanti," kata Jieun.

Semuanya mulai bergegas, waktu sangat mepet, jika belum selesai dalam kurun waktu yang sudah ditentukan, selesai ataupun tidak, buku mereka tetap harus dikumpulkan dan dinilai. Berapapun soal yang baru terjawab, jika sedikit, maka nilainya juga menyesuaikan.

"Waktu habis, ketua kelas, kumpulkan semua buku, dan letakkan di atas meja. Saya ingin ke toilet, jangan berisik," perintah guru itu sembari meninggalkan kelas.

.
.
.

Berkali-kali wanita bermarga Lee itu membasuhi wajahnya, pusing kembali melanda. Kepalanya sakit sekali, ia tidak bisa fokus mengajar jika seperti ini.

Flu-nya sudah mulai membaik, tetapi pening yang ia rasakan tak kunjung hilang.

Dering ponsel miliknya membuat Jieun berhenti membasuh wajah, mengambil tisu yang sudah disediakan di sana, lantas dengan cepat mengangkat telpon yang berasal dari sang adik laki-lakinya.

"Halo?" sapa wanita itu.

"Noona, apa kabar?" Suara Eungyol terdengar dari seberang.

"Baik." Jieun mengecek pada jam tangan yang menggantung di pergelangan tangannya, lantas mengernyitkan dahi. "Eh, tunggu, bukankah sekarang masih jam pelajaran? Hei, bocah, bisa-bisanya kau bermain ponsel saat guru sedang mengajar!" Jieun yang menyadari jika adiknya itu sedang bersikap nakal, lantas memarahinya, sebagai seorang guru, tentunya itu perbuatan l yang menyebalkan, adiknya ini sangat bandel.

Jieun berniat mematikan sambungan mereka sepihak, tetapi Eungyol kembali bicara.

"Tidak, Noona. Sedang jam kosong, jadi aku tidak menelpon Noona saat ada guru yang menerangkan di depan kelas, hehe," jawabnya dengan kekehan.

Wanita berusia dua puluh empat tahun itu berdecak sebal, "ponselmu akan disita jika ketahuan membawanya." Guru itu memijat pelan batang hidungnya. Pernapasannya sedikit mampet.

My Sweet ManTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang