09 ☠ Kirei's Point of View

24 4 4
                                    

•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Abryan Davin Darendra.

Sudah satu tahun lamanya aku mengenal pria pecinta basket dan skateboard itu. Akan tetapi, sampai saat ini aku belum juga bisa mengetahui apa sebenarnya motif Davin bergabung dengan Psycho Elite, selain karena dia bilang kalau dia ingin mengenalku lebih dekat.

Sudah bukan rahasia umum lagi di kalangan para anggota PE kalau pria yang identik dengan potongan rambut undercutnya itu menyukaiku. Karena Davin sepertinya juga tidak pernah berniat untuk menyembunyikannya.

Namun sampai sekarang, entah kenapa aku masih belum bisa mempercayai pria itu sepenuhnya. Ada sesuatu dalam diri Davin yang terus membuatku merasa ragu. Meski harus kuakui, kalau dia selalu bisa membuatku nyaman dan merasa aman kalau didekatnya.

Aku juga tidak mengerti, kenapa saat ini aku justru memeluk leher pria itu dari belakang sofa seolah enggan membiarkannya pergi.

"Don't go ..."

Davin menolehkan kepalanya, menarik kepalaku mendekat dan mengecup bibirku berkali-kali seolah tiada hari esok. Pria itu menatapku dengan netra kelamnya.

Tatapan yang sulit diartikan.

Jujur saja, aku tidak pernah bisa mengartikan setiap tatapan pria itu padaku. Davin adalah pria yang tidak bisa ditebak. Bahkan terkadang, ekspresi wajah dan tindakannya cenderung berbeda.

"Kenapa?"

Dia bertanya, dan aku dibuat bungkam karena aku pun tidak tahu mengapa aku bersikap demikian. Bahkan sampai sekarang, aku juga tidak tahu hubungan kami sebenarnya itu apa. Davin selalu berkata kalau dia menyukaiku, tapi laki-laki itu tidak pernah memintaku menjadi kekasihnya secara langsung.

"Kenapa kau melarangku pergi, Kirei?"

Davin menarikku dan mendudukkan diriku di atas pangkuannya. Lalu melesakkan wajah tampannya pada ceruk leherku dan sesekali juga mengecupnya.

"Katakan. Kenapa kau melarangku pergi, hm?"

Pergerakannya di sekitar leherku membuatku kegelian. Aku spontan menjauhkan wajah Davin dari ceruk leherku dan menatapnya dengan ekspresi setengah jengkel. "Hentikan itu, Davin."

"Kau belum menjawab pertanyaanku."

"Apakah itu perlu?"

Davin mengangkat sebelah alisnya. "Menurutmu?"

"Aku tidak mengizinkanmu pergi sebelum aku tahu kamu mau pergi ke mana, Davin. Kamu selalu bilang hanya beberapa hari, tapi faktanya malah seminggu lebih."

"Aku tidak perlu izinmu untuk pergi ke manapun yang aku mau, Rei." Davin mengangkatku dari pangkuannya dan mendudukkan tubuh kecilku di sofa sebelahnya. Pria itu berdiri dan mengambil ponsel milikku yang ada di atas meja nakas. "Pinjam ponsel," katanya.

NEXT PSYCHOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang