5. Keadaan di Negara Green Life

23 17 1
                                    

~Hei, kau ingin menyalahkan siapa atas pilihanmu sendiri? Takdir? Konyol!

🌸🌸🌸

Selama di pesawat aku tidak melakukan perbuatan yang menarik perhatian. Hanya duduk dan memandangi keluar jendela pesawat. Makan dan minum bila ditawari, selebihnya memejamkan mata menikmati perjalanan.

Sampai tak terasa waktu delapan jam untuk sampai dapat ku lalui dengan mudah. Pagi tadi aku berangkat dan sorenya sudah berada di negara Green Life.

Di kondisiku yang sedang menaiki delman, aku terus memandangi jalanan kota Lonely yang terkenal akan ketenangannya.

Berbeda dengan suasana kota Coolness ibu kota dari Negera Flowering yang dipenuhi suara kendaraan dan berisiknya orang lalu-lalang, kota Lonely lebih kental dengan kedamaian orang-orang dan suara kaki kuda dari delman yang menjadi kendaraan utama di negara ini. Ditambah gesekan biola dan alat musik lainnya dari penyair jalanan memenuhi suara di jalan raya.

Aku menyukainya. Apalagi bangunan yang dibangun sesuai dengan suasana yang diciptakan dan lampu keemasan yang menjadi penerang jalanan.

Benar-benar kota Klasik!

Tanpa sadar aku bersenandung dan hal itu sepertinya membuat pengemudi delman melihat ke arahku.

"Apa Anda menyukainya, Pangeran?"

"Iya." Aku duduk sambil menyilangkan kaki dan menumpu kedua tangan di atas lutut. Tersenyum tipis untuk membuktikan pernyataan ku.

"Semuanya berkat kerja keras ayah Anda Kaisar Alan, beliau pemimpin yang luar biasa yang bisa mengurusi dua negara sekaligus," terangnya memandang lurus ke depan.

Aku tak menjawab apapun karena kurasa itu pernyataan yang tidak memerlukan jawaban. Namun bukan berarti aku tak sependapat dengannya, aku juga kagum pada ayahku yang mampu menciptakan keselarasan dua negara. Tetapi ada kalanya hal-hal itu membebaniku sebagai anak beliau.

Seperti, apa aku bisa sehebat ayah?

Padahal status ayahku di kerajaan masih pangeran, namun mendapat panggilan kaisar dari rakyat sebagaimana beliau dihormati dan dicintai setulus hati.

Cinta sepenuh hati, itulah yang dijaga ayahku selama ini.

"Kita sampai."

Akhirnya....

Seorang pria dewasa memakai tuxedo hitam membuka pintu dan mengulurkan tangannya padaku.

Aku hanya melihatnya dan melompat pelan tanpa melirik ke arahnya.

Aku yang saat ini sedang memakai kemeja putih dan celana panjang berjalan pada karpet merah yang panjangnya sampai memasuki istana Sunset.

Di kedua sampingku berdiri secara berderet orang yang seperti menyambut ku tadi.

Kurasa mereka pelayan.

"Selamat datang, Pangeran Agra."

Ah, ini dia nenekku yang menyebalkan.

Dengan gaun mewah yang menyelimuti tubuh dan pernak-pernik permata dan perhiasan yang dipakai menunjukkan kekuasaan yang beliau miliki.

Lantas Aku membungkukkan diriku sekitar empat puluh lima derajat. "Salam hormat saya, Permaisuri Gristiani Wedelson."

Sontak perbuatanku menimbulkan kesunyian. Aku merasa semuanya menatapku terkejut.

Ah, apa kelakuanku dianggap kurang ajar karena memanggil permaisuri disertai nama lengkapnya?

Lihatlah raut nenekku yang tak lagi datar, namun hanya terjadi beberapa detik karena beliau memang pandai menjaga ekspresi.

"Dasar bocah!" Nenekku berjalan duluan diikuti diriku dan satu pria dewasa.

Aku menyeringai dalam diam.

Nenekku cerdas, dan dia pasti sudah mengetahui ketidaksukaan ku padanya melihat balasan ucapannya tadi.

Kami berjalan di lorong kerajaan yang sewarna emas, atau jangan-jangan memang emas?

Aku cuma menatap tanpa rasa tertarik pada kemegahan yang disajikannya sepanjang perjalanan.

Bukannya terkagum aku justru merasa dingin dan hampa, berbeda sekali dengan rumahku yang hangat.

Tersenyum getir. Tiba-tiba saja teringat keluarga.

Mereka pasti sedang makan malam 'kan?

Kami pun tiba dihadapan pintu lebar. Pelayan bergerak cepat membukanya lebar-lebar dan kami memasukinya.

"Mulai sekarang ini kamar milikku, kamar yang menjadi milik ayahmu dahulu. Kau tidak keberatan 'kan?" tanya Permaisuri.

Luas, satu kata dariku untuk kamar ini.

"Tidak, justru saya senang menempati kamar bekas ayah saya. Terima kasih, ternyata nenek sangat pengertian." Aku memandangi nenekku sambil tersenyum agar beliau memperhatikan ketulusanku.

Beliau menyeringai. "Tadi memanggilku permaisuri sekarang memanggil nenek? Sebenarnya kau menghormati sebagai siapa?"

"Tergantung dari cara Anda memperlakukan Saya, sehingga Saya bisa tahu dinggap apa dimata Anda. Cucu atau bawahan?"

Baiklah, beliau tetap menyeringai. Sepertinya aku berhasil menarik perhatiannya.

"Silahkan beristirahat, Agra. Kau akan dipanggil saat makan makan, jadi persiapkan dirimu. Jika butuh sesuatu, kau bisa membunyikan lonceng di sana dan pelayan akan segera datang untukmu." Nenek menunjukkan lonceng yang ada di atas nakas.

Benar-benar cara yang merepotkan!

"Manfaatkan waktumu dengan baik." Setelah mengatakannya barulah nenek keluar, tapi tidak dengan pelayanannya.

"Kenapa masih di sini?"

Pelayannya menundukkan kepala. "Saya akan membantu Pangeran membersihkan diri."

"Tidak perlu, itu kamar mandinya 'kan?" Tunjuk ku pada pintu berwarna cream.

"Benar, Pangeran."

"Dan itu walk-in closet 'kan?"

"Benar, Pangeran."

"Kalau begitu kau tidak dibutuhkan, aku bisa mengurusi diriku sendiri." Aku mendekati pintu dan menunjukkan jalan padanya.

"Tapi, Pangeran--"

"Keluarlah."

Tampak pelayannya berkeringat. Apa karena nada bicaraku ya dan tatapanku?

"Baik, Pangeran. Silahkan beristirahat."

Pintu tertutup. Barulah aku bisa merasakan kedamaian yang sesungguhnya.

Kamar ayahku. Aku memandanginya.

Alasan aku menggunakan kata 'luas' pada kamar ini adalah ruangan memiliki ruang yang tidak terisi pernak-pernik yang memenuhi tempat dan menyesakkan.

Aku tersenyum.

Kita sama ayah.

Setelahnya aku menghabiskan waktu di kamar mandi selama setengah jam dan pergi ke walk-in closet untuk memilih pakaian.

Satu kata yang terpikir olehku begitu membuka lemari adalah 'rumit'.

Mengapa orang-orang kerajaan sangat suka pakaian ribet begini?!

Menghela napas.

"Jangan mengeluh, Agra. Lebih baik persiapkan dirimu untuk makan malam ini, karena kau harus tampil sempurna." Tersenyum miring seraya mengambil sepasang pakaian.

Rasa yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang