14. Perhatian

10 8 0
                                    

~Kamu, kamu, kasihku. Kamu, kamu, cintaku. Sang juara di hatiku.

...🌸🌸🌸
...

Agina membeku.

Aku menghampirinya, menariknya meninggalkan Indra dan lainnya. Langkah Agina yang tertahan tak membuatku berhenti membawanya.

“Agra, tunggu.”

Ini pertama kalinya aku mendengarnya memanggil namaku semenjak bertemu kembali, perkara tersebut membuatku berhenti dan menatapnya tajam.

Wajahnya pias dan aku menunggunya berbicara. Tapi karena tak mengatakan apa pun, aku kembali menariknya untuk dibawa ke UKS.

Aku sedikit keras membuka pintu hingga orang di dalam UKS terlonjak. Mereka memperhatikanku yang membawa Agina ke brankar.

Dapat aku rasakan Agina yang tersentak saat aku mengangkatnya ke atas brankar. Aku membuka laci nakas dan mengambil alkohol serta kapas untuk membersihkan tangan Agina.

Dia memperhatikanku dalam keterdiaman nya. Ah, tidak. Semua yang di UKS melihat kami terang-terangan.

Selesai aku membersihkan tangannya, barulah Agina membuka suara, “Kau marah?”

Aku menghela napas kasar. “Memang aku punya hak apa untuk marah padamu?”

Hening.

“Semua yang mengkhawatirkan ku berhak memarahiku,” ucapnya.

Aku mendongak padanya. Aku menarik kursi untuk ku duduki agar posisinya pas saat berbicara.

“Agina.” Aku memegang kedua pergelangan tangannya dengan kedua tanganku. “Aku senang melihatmu dapat melindungi dirimu dan juga temanmu, tapi ada lebih banyak cara lainnya dari pada harus berkelahi. Aku tidak ingin melihatmu terluka.”

Mataku menatapnya penuh harap.

“Cuma itu yang aku bisa. Aku tidak punya kekuasaan untuk menekan mereka,” ucapnya disertai ekspresi datarnya.

Untuk sesaat aku dibuat terdiam atas pernyataan Agina. Sekarang aku mengetahui satu fakta tentang Agina yang bisa ilmu bela diri, dan kenyataan dia mempelajarinya dari siapa aku tak bisa menerka.

Aku mengerti arah pembicaraan Agina yang ujung-ujungnya pasti masalah perbedaan. Dirinya yang seorang anak konglomerat, dan Agina yang bahkan tidak diketahui asal usulnya.

Tapi aku tidak setuju akan perbedaan yang diusahakan oleh orang tuaku. “Lain kali jika terjadi lagi, kau boleh membawa namaku atau ayahku. Jangan langsung memukulnya, oke? Karena tidak semua kedamaian di dapatkan bila ada kemenangan dan kekalahan. Membuat seseorang menyadari posisinya juga bisa menjadi senjata,” jelas ku tersenyum.

Spontan aku mengaduh merasa sakit di dahi akibat sentilan dari Agina. Aku bertanya-tanya apa yang membuatnya melakukan itu.

“Kakak mau aku bergantung sama kakak? Tapi aku tidak bisa melihat masa depan, sehingga aku tidak tahu apa kakak bersamaku di detik selanjutnya.”

Agina menggeser tubuhnya dan melompat turun, dan aku refleks menangkapnya. Dia memandang aku kesal.

“Kau punya refleks yang bagus.”

Aku tertawa renyah. “Yang konsisten dong, kau atau kakak?”

Aku membiarkannya menapak lantai melihat matanya yang mendelik.

“Kau saja, karena kelakuanmu tidak mencerminkan seorang kakak bagiku.” Agina berjalan menjauhiku, namun sebelum keluar dia sempat terhenti.

“Tapi mengetahui kau ada di detik kehidupanku berikutnya, aku akan mengikuti saran mu.” Pintu ditutup.

Aku berkedip dan tersenyum saat menyadari maksudnya.

Setelah kejadian itu, aku dan Agina menjadi sorotan di sekolah. Orang-orang di UKS yang menyebarkan berita kedekatanku dan Agina.

Kejadian itu pun sedikit melunturkan sifat dingin Agina padaku, dan aku bisa merasakannya dibalik wajah datarnya. Ya, hanya sikapnya yang berubah, tapi wajah lurusnya itu sepertinya sudah permanen.

Sampai pada suatu hati aku melihatnya dalam keadaan berantakan menghampiriku ke kantin. Rambut coklat gelapnya yang acak-acakan serta ada helai-helai yang terlihat dipotong paksa.

“Ada yang menyakitimu?” Aku mencoba merapikannya rambutnya.

“Mereka cuma penggemarku.” Agina memberikan karet padaku, lalu sebelah tangannya lagi menunjukkan kepalanya.
Aku mengerti. Aku mengiring dirinya duduk membelakangi ku, kemudian ku ikatkan rambutnya yang sekarang pendek tak beraturan.

“Penggemar mana?” tanyaku penuh tekanan.

“Jangan marah.” Aku tersentak atas ucapannya. Padahal aku sengaja menekan perkataanku agar tak berkoar-koar. Agina berkata, “Aku masih bisa mengatasinya.”

“Aku tahu. Aku cuma mau tahu orangnya,” tuturku untuk menenangkannya pikirannya yang berpikir aku marah.

“Permasalahannya langsung selesai begitu kau tahu, tapi ini masalah perempuan dan aku sudah menjambaknya tadi,” balasnya menggebu-gebu.

Aku mendengus. Sepertinya Agina memang tak berniat memberitahukannya. Tapi aku bisa mencari tahu orang-orang yang melakukannya, dan alasan mereka melakukannya.

Namun begitu tahu alasan Agina tersakiti karena diriku, aku tak bisa menahan diri.

Aku berlari menjadikan ragaku yang memeluknya sebagai tameng. Dia berniat menangkis ember tersebut, tapi isinya air panas. Aku meringis merasakan perih dan panas di punggungku sampai membuatku hampir tumbang kalau tidak ditahan Agina.

“Agra!” Agina panik. Orang yang menjadi pelaku pun cemas. Mereka orang gila yang berani melakukannya di koridor karena berpikir tidak ada yang menolong Agina.

“Agra, aku tak bermaksud—“ Hendak membantuku tapi langsung ditepis Agina.

“Kalau kalian mau membantu, cepat bawakan air putih!” pekik Agina membentak mereka.

Dapat ku lihat mereka yang gemetaran dan langsung berlari. Rupanya mereka gadis-gadis yang mengejar ku, mereka pasti mengganggu Agina karena dekat denganku.

Aku berpaling pada Agina, di sela-sela kesakitan aku malah tersenyum melihat kekhawatirannya.

“Ayo ke UKS.” Dia berusaha memapah ku dengan tubuh pendeknya.

Kami sempat berhenti di keran yang disediakan sekolah untuk mencuci tangan, dan Agina menggunakan air itu untuk menyiram punggungku.

Sampai di UKS, kami duduk di atas brankar dengan posisi Agina di belakangku. Dia mengeringkan punggungku yang sudah tak memakai seragam dan kaos dalam lagi menggunakan handuk kecil, kemudian mengoleskan salep.

Rasanya dingin, tapi aku menikmati momen ini. Namun aku tersentak mendengar tangisan dari belakang, sontak saja aku berbalik.

Pemandangan yang terlihat spontan membuatku tertawa. Agina menangis sambil berusaha menghentikan ingus dengan menghirupnya. “Hei, kenapa menangis?”
Aku menangkup wajahnya.

“Kau terluka gara-gara aku,” ucapnya tersendat-sendat.

Imutnya....

“Mana ada, aku terluka karena ulah mereka. Agina cuma korban,” tuturku tersenyum.

“Tapi kau terluka, dari dulu Agra terluka karena melindungi ku.”

Ah, itu yang dipikirkannya ya.

“Tapi kau bilang tidak ingat masa bersamaku, bagaimana kau tahu aku terluka saat bermain bersamamu dulu?”

Agina menunduk. “Aku merasa aman bersamamu, dan itu mungkin perasaan yang aku bawa dari kecil karena kau selalu melindungi ku.”

Aku membuatnya menatapku. “Tapi tetap saja aku terluka karena diriku sendiri yang ingin melindungi mu. Jangan menyalahkan dirimu ya?”

Dia mengangguk dalam himpunan tanganku. Aaa.... Rasanya ingin menjerit. Aku merasa geli dan panas sendiri. Kayak ada asap-asap yang keluar dari kepalaku.

“Bisa saja ngomongnya,” celetuk seseorang yang membuatku menoleh ke arah pintu.

Oke, wajahku kembali datar.

Rasa yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang