12. Sikap Claudya

14 11 0
                                    

~Bagaimanapun dirimu, aku menerimanya. Asal bukan penghianat.

🌸🌸🌸

Dia melihat ke arahku dan aku berhasil meraihnya ke dalam pelukanku. Erat, Aku merasa memeluk bantal guling saat merasa takut.

Dan sekarang aku memeluknya dalam ketakutan yang sama, namun memiliki arti yang berbeda.

Takut kehilangan....

"Aku senang melihatmu lagi."

Sehingga perlakuannya yang menolak diriku tak menyinggungku sama sekali. Aku melepas pelukan dan memegang keduanya bahu Claudya, barulah ia berhenti memberontak.

"Ada luka? Kau tidak menyakiti diri sendiri lagi 'kan?" tanyaku sambil membolak-balik tubuhnya.

Aku tersentak saat tanganku ditepis kuat. Perasaanku kosong melihat tanganku, kemudian berpaling pada wajahnya yang.... Dingin.

"Tidak ada luka. Jadi, berhentilah menyentuhku."

Nadanya itu mengatakan ketidaksukaannya dan, dan aku merasakannya.

Aku harus mengatakan apa sekarang?

Perasaan asing yang lebih menyakitkan menyeruak dibandingkan saat mengetahui Claudya tidak berada di tempat yang aku ketahui, karena waktu itu ada keyakinan pada diriku kami akan bertemu kembali.

Keadaannya menjadi sunyi dengan kami yang saling tidak mengeluarkan suara. Aku mencarinya selama ini tidak pernah berpikir hubungan kami akan sedingin ini, sehingga aku tidak tau harus mengatakan apa sekarang.

Terlebih.... Dia bukan lagi Claudya kecil yang langsung bicara apa saja di kepalanya.

Ini gawat, aku merasakan sakit dibagian dada.

"Claudya, bisa bicara sebentar?" seru Ayah ditengah-tengah kebingunganku ini.

Aku melihat Claudya mengangguk dan mereka menjauh dariku.

Apa sih yang rahasia sangat sampai mereka harus menjauh begitu?

Rasanya dongkol.

Waktu cuma dihabiskan beberapa menit, interaksi terakhir mereka yang aku perhatikan adalah Claudya yang berpikir sebelum berbicara lagi pada Ayah yang menyodorkan kertas. Mereka kembali.

"Sampai jumpa."

Sontak aku memegang tangan Claudya begitu kalimat itu terucap.

Apa-apaan! Dia mau meninggalkanku lagi?

Dia bertanya tentang kelakuanku lewat matanya.

"Kau mau pergi lagi?" Ah, kalimat ku terdengar putus asa dan.... Marah?

Bahkan keningku mengkerut.

"Iya." Dia menjawabnya semudah itu.

Aku tak berkata apa-apa lagi dan hanya terus memegangnya tangannya dengan gemetar. Claudya sampai menghela napas.

Aku tidak terbiasa akan sikap dewasanya.

"Sungguh, aku tidak ingat apapun. Masa kecilku seperti mimpi yang hanya terlihat warnanya saja, namun aku tidak bisa menjelaskan apa yang terjadi. Jadi, aku tidak mengerti perasaan kakak sekarang," ucap Claudya tiba-tiba.

"Kau mengenalku?" Pertanyaan yang penuh harap.

"Ingatan terakhirku, aku ini merupakan anak angkat keluarga Dreandara, dan keluarga Pratama punya hubungan saudara dengan keluarga Dreandara. Kakak juga sahabat kakak angkat ku, pasti pernah mengunjungi kediaman Dreandara. Waktu itulah kakak melihatku yang masih kecil dan mengenang ku. Hanya sekedar itu yang aku tau."

Rasa yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang