13. Asing

11 10 0
                                    

~Begitulah kita.... Walau rasanya berbeda, tapi kita tetap berusaha menghargai satu sama lain.

🌸🌸🌸

Kami menuruni mobil setelah berpamitan dengan Ayah. Penumpang di bus yang diturunkan di halte depan sekolah mengerubungi aku dan Claudya.

“Kalian sudah diberitahukan kelas yang kalian tempati?” tanya Claudya. Aku memperhatikannya.

“Sudah,” jawab mereka serempak.

“Ingat, kita membayar untuk bersekolah di sini bukan beasiswa. Jadi, tidak ada alasan bagi siswa lain merendahkan kita. Tapi jangan nakal dan mempermalukan nama baik orang yang telah menyekolahkan kita,” terang Claudya pada semua.

“Baik!” Semuanya menyahut, walau dilihat sekilas saja sudah kelihatan banyak yang di atas usia Claudya.

Aku tersenyum melihat jiwa pemimpin dalam diri Claudya.

“Bersekolah lah dengan nyaman,” ucapnya sebagai pengakhiran sehingga mereka bisa pergi, namun ada satu anak laki-laki yang tinggal.

“Aku bersamamu ya, Agina?” tuturnya.

Aku mengernyit. Agina? Apa itu semacam nama panggilan?

Claudya melirik ke arahku sebagai isyarat meminta jawaban dariku. Aku memandangi laki-laki dari atas sampai bawah dan seluruh dirinya berwarna putih kecuali matanya yang berwarna biru, dari ekspresinya saja aku tahu dia tak menyukaiku. Dia menunjukkannya terang-terangan.

Aku bersedekap dada. “Aku mau berdua saja dengan, Claudya.”

Laki-laki albino itu tersenyum, namun senyuman yang dipaksakan nya. “Kita sekelas, aku rasa bisa berjalan bersama.”

Ooo.... Sumuran denganku ya.

Tapi. “Tetap saja, aku tidak mau.” Ku rangkul Claudya dan membawanya pergi. Dapat kurasakan ketidaksukaannya dibalik punggungku.

Aku harus berpuas hati pada Claudya yang menerima perlakuanku sampai laki-laki albino itu tak terlihat, karena setelahnya Claudya melepas rangkulanku. Dia tak berkata apa-apa lagi dan berjalan duluan, atau lebih tepatnya aku yang memelan karena tak sanggup berjalan di samping orang asing.

Benar, aku merasa Claudya asing bagiku sekarang.

Aku tak tahu apa-apa tentangnya sekarang, dan untuk bertanya pun Ku rasa tidak akan dijawab Claudya mengingat sikap Claudya terhadapku sekarang.

Ku pandangi dirinya yang berjalan dua meter di depanku. Jauh, tanganku mungkin bisa menggapainya namun sesuatu yang lebih dekat dari pada ragaku akan sulit bahkan hanya untuk menyentuhnya.

“Clau, ah tidak. Agina!” Aku menyerukan nama yang dipanggil manusia albino tadi.

Dia berhenti dan berbalik ke arahku. “Mulai sekarang panggil aku Agina, karena Claudya bukan namaku lagi.”

“Kenapa—“

“Agra!”

Ucapanku terpotong dengan Olivia yang mendadak muncul dan menggandeng tanganku. Sontak aku melepaskannya dan melihat Claudya. Matanya tampak menatap lirih ke Olivia.

“Jam istirahat nanti, aku ke kelasmu,” ucapnya dan memasuki kelas. Dia tak memberiku kesempatan bicara.

“Dia siapa?”

“Claudya. Adik angkat mu.” Ku jelaskan secara padat dan pergi meninggalkannya karena gedung kelas lima berada di arah lain.

“Agra, tunggu aku!” seru Oliva yang ku hiraukan.

Ternyata benar yang dikatakan manusia albino itu bahwa kami sekelas, dan dia langsung menjadi populer karena perawakannya yang berbeda.

“Salam kenal, nama saya Indra. Semoga kita bisa menjadi teman baik.” Indra tersenyum saat mengatakannya.

Rasa yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang