19. Pemikiran

12 11 0
                                    

~Begitu ya, aku juga berpikir begitu.

🌸🌸🌸

"Mau bertemu teman-temanku?"

Suatu hari Agina berkata begitu padaku, dan aku menyetujuinya tanpa berpikir panjang. Karena yang terkira Agina semakin percaya padaku, itu saja.

"Aku tahu kau akan menyetujuinya, jadi sekarang mereka menunggu di taman."

Begitulah keputusan sebelum akhirnya naik mobil milikku dan minta diantar ke taman tanpa pulang ke rumah.

Tentu ada alasan lain dari tidak ingin ribet dengan berganti pakaian dulu untukku, yaitu arah yang berkebalikan dari sekolah ke rumahku dengan sekolah menuju taman yang dikatakan Agina.

Namun satu hal yang wajar, taman tersebut dekat dengan halte dimana bus keluargaku selalu menjemput Agina beserta lainnya yang dikatakan Agina sebagai keluarga.

Sehingga tebakanku mengarah tentang tempat tinggal Agina yang tidak jauh dari halte tersebut. Ini pemikiran yang sudah jelas 'kan? Tapi kenapa aku memikirkannya?

Tentu diakibatkan halte yang menjadi permasalahan adalah halte yang tidak beroperasi lagi setelah pemerintah mengumumkan keberadaannya yang dekat dengan hutan terlarang.

Apa mungkin rumah Agina berada di tempat yang tidak tersentuh masyarakat?

Ini menggerogoti pikiranku sadari menjemput Agina di halte itu, namun aku tidak berpikir untuk menanyakannya pada Agina dikarenakan hal itu tidak pernah diungkitnya. Bisa saja Agina tidak membicarakannya karena takut akan tanggapanku, atau....

Agina merasa aku tidak perlu mengetahuinya karena aku tidak penting baginya.

Ini sulit bahkan untuk diucapkan dalam hati.

"Kau tahu...."

Ah, aku yang memang memprediksi akan ada antisipasi Agina dalam keterdiaman ku tidak terkejut saat ia membuka suara, dan menoleh secara pasti.

"Kau tidak selevel denganku."

"Apa?" Mimik datar yang muncul tanpa ku persiapkan.

"Maksudku, kau berada di atasku."

"Aku mengakuinya kalau maksudmu adalah materi," jawabku agak kesal, tapi Agina terlihat senang atas pernyataannya barusan.

Iya, iya. Aku anak dari orang yang tercatat memiliki penghasilan terbanyak di dunia, baik dari segi uang atau emas dan kekuasaan. Ayah adalah owner dunia, itulah sebutan umum di kalangan masyarakat karena statusnya yang menjalankan bisnis, juga dianggap sebagai emperor di kekaisaran Luxury negara Green Life.

Aku yang tentu sinar keberhasilan ayahku tentu merasa bangga sebagai seorang anak, tapi tertekan bila memikirkan hal apa yang harus aku lakukan agar lebih membanggakan dari ayah.

"Kalau perkara materi, bukan aku saja 'kan. Siapapun tahu Rangga Pratama atau Alan Wedelson Luxury adalah nomor satu."

Agina menyebut 'ayah' bukan membahas 'aku', artinya pukulan telak darinya agar jangan berpikir Agina peduli soal itu diriku.

Toh, semuanya milik ayahmu. Kenapa aku harus mengincar mu.... Itu bahasa yang terkandung dalam kalimat Agina.

"Kau sedang berpikir tentang taman yang dekat dengan rumahku iya 'kan?"

"Rumah?" Pura-pura linglung saja, oke. Agina menyinggungnya pasti disertai tujuan untuk memberitahu.

"Tidak masuk akal aku menyuruh menjemput kami di halte yang jauh dari rumah kami, kau pasti sudah lama memikirkan atau bisa sadari awal sudah menyadarinya."

Perkataannya ini.... Pujian 'kan?

"Benar, rumah kami ada di sekitar halte yang dekat hutan terlarang, atau bisa kau simpulkan hutan terlarang itu merupakan rumah kami."

"Apa?" Terkejut? Tentu saja! Sadari awal aku memang menekankan diri untuk tidak berpikir yang mengarah ke sana.

Hutan terlarang? Pasti ada alasan dibalik tanda peringatan yang dilingkari sepanjang wilayah hutan.

"🎶 Di suasana yang sepi, dikacaukan oleh tangisan anak....

Seseorang datang, dia wanita berambut matahari....

Membawa, kemudian menghilangkan keberadaan anak itu....

Dialah sang pelenyap jiwa manusia, kau harus berhati-hati 🎶."

Aku terbelalak. Lirik itu.... Agina menyanyikan lagu yang sempat populer beberapa tahun lalu di kalangan masyarakat bawah.

Populernya lagu itu karena menceritakan kejadian pandangan masyarakat lalu tentang seorang wanita berambut pirang mengambil anak yang ditelantarkan, namun wanita keberadaannya tidak ketahui dan anak yang dibawanya pun tak pernah terlihat.

Kejadiannya sering terjadi dan di dekat hutan terlarang, namun tidak dipedulikan karena tidak ingin berurusan dengan anak yang sudah dibuang orang tuanya. Pemerintah pun tutup mulut akan hal ini entah karena tak percaya percaya perkataan orang awam, atau sama sekali tidak peduli.

Sontak aku memeluk Agina, dan seolah memperkirakan dia menerimanya dengan tenang. "Berarti dia wanita baik dong, karena menyelamatkan anak-anak."

Apa perkataan balasan seperti ini sudah benar?

Inti Agina menyanyikan lagu ini untuk memberitahukan bahwa dia salah satu anak yang dibawa itu, tapi lirik 'menghilangkan keberadaan' itu keji sekali. Seolah anak-anak dianggap sudah tidak ada dunia ini lagi.

"Memang, siapa bilang ibuku jahat. Aku sangat menyayanginya."

Tenang, tenang Agra. Jangan membalas perkataan Agina yang membuatnya memperjelas statusnya sebagai anak yang dibuang keluarga, batinku seakan berteriak.

"Iya, iya. Ibumu sangat menyayangimu."

Aku panik sendiri, padahal Agina terlihat nyaman saja dengan pembicaraan ini sampai tidak bergetar.

"Aku tidak masalah berada dimana, asal bersama orang yang menyayangiku. Jadi, Agra....

Jangan khawatir."

Jantungku serasa dihantam. Benar, sadari tadi tubuhku lah yang bergetar dan serasa ingin menangis. Agina memelukku sangat erat untuk menenangkan ku.

Aku selalu berpikir, bagaimana keadaan Agina selama tiga tahun ketiadaanku?

Rupanya dia bahagia, iya 'kan? Dia berhasil menemukan orang-orang yang menyayanginya.

"Aku tinggal menjalaninya saja 'kan?"

"Iya."

Hanya itu, karena aku benar-benar tidak ingin berkata apapun di situasi ini.

"Lain kali aku akan ke sana."

Ke sana itu maksudnya panti asuhan, iya 'kan?

Aku mengangguk.

Inilah alasan Agina meminta bantuan pada ayahku yang pasti dikenalnya sebagai orang kaya, karena panti asuhan yang tidak diketahui keberadaannya bagaimana bisa mendapatkan dana pemerintah.

Mungkin ibu panti bekerja sendiri untuk menghidupi anak panti.

Namun pertanyaan selanjutnya kembali muncul akibat ini, yaitu tentang alasan ibu panti menyembunyikan anak-anak.

Ada kejelasan dibalik semua, dan itu semakin memusingkan kepalaku.

"Perlahan Agra, aku tahu kau pasti menemukan jawabannya. Aku tahu kau jenius, tapi jawaban yang akan kuberi tahu tidak perlu dicari tahu 'kan?

Agina mendirikan tembok lagi untuk menandai batas pengetahuanku terhadapnya. Tapi aku lebih tertarik dengan kalimat 'aku tahu kau pasti menemukan jawabannya', dan menimbulkan senyum miringku.

Artinya Agina lebih ingin jawabanku terlebih dahulu dari pada pemberitahuan darinya.

Ingin tahu lebih cepat yang mana ya?

Mulut yang memberitahu, atau tindakan yang mencari tahu?

"Baiklah."

Aku mencintaimu, Agina. Baik kau yang dulu tanpa rasa takut melukai diri sendiri, atau kau yang memiliki teka-teki sekarang.

Sikap nekad mu.....

Rasa yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang