~Biarlah, aku cuma perlu melewatinya.
🌸🌸🌸
Setelah pertemuannya dengan orang yang berhasil diminta bantuannya, aku dalam keadaan senang berlari ke toko roti yang bisa digapai lima menit melalui lariku. Tentu hal ini mudah bagiku sekalian berolahraga sesudah sekian lama tak ke negara Green Life.
Namun gerakanku harus terhenti dikarenakan keributan yang terjadi di dalam.
"Bagaimana bisa kau memberikan harga semahal ini pada roti sampah ini? Aku mau uangku kembali!" pekik pria berjas berkacamata pada ibuku. Toko roti ini bernuansa kaca, tentu semua orang bisa tahu yang terjadi di dalam.
"Baiklah."
Dan ibuku merupakan tipe yang tak ingin merumitkan masalah mengiyakan saja dengan wajah kesal.
"Hah, kalau saja kau mengiyakan ajakan ku kau tidak perlu hidup menyedihkan begini!" papar pria itu.
Oke, aku marah. Lantas mendorong kuat pintu dan menendang tulang kering pria sombong itu, spontan pria itu mengaduh.
"Akh! Sialan kau, Bocah!" Dia mendelik tajam padaku.
"Agina," ujar Ibu yang kembali dari meja kasir.
"Dasar orang miskin! Bilang saja anda ingin makan gratis, makanya meminta uang anda kembali!" hardik ku yang seorang anak berumur tujuh tahun.
"Apa maksudmu, Bocah? Itu hakku karena toko ini menjual roti tidak enak padaku."
Aku mengitari pandangan dan menemukan meja yang ada bungkusan roti tanpa penikmat di kursi. Aku melangkah ke sana. "Apa roti ini yang anda maksud? Wah.... anda menghabiskannya sampai setengahnya, ini bagian yang memuaskan untuk roti sebesar ini."
Ah, dia terkejut. Kurasa dia menyadari keadaan yang coba aku arahkan.
Pelanggan lainnya mulai berbisik-bisik yang aku tebak pembiaran mereka pasti membenarkan ku.
"Lagi pula ini roti favorit semua orang di toko ini lho, dan hanya Anda yang punya lidah bermasalah. Kalau pun iya ibuku menyajikan khusus roti sampah untuk Anda, kurasa cocok karena Anda kemari terus dengan maksud memaksa ibuku kerja sama pada perusahaan modeling Anda."
"Agina!" seru Ibu memberi peringatan, tapi aku dalam mode tak peduli atas akibat nantinya.
"Kau-"
"Pemaksaan itu bersifat tidak menyenangkan, jadi kuharap anda berhenti memaksa ibuku dengan dominan. Anda bisa kok datang ke sini lagi jika punya muka, ah maksudku punya niat baik." Aku memandanginya sinis, dan ia hanya bisa menggertakkan gigi.
"Kau akan menyesal menolak tawaranku, Jessica." Baru pria itu keluar. Aku sempatkan diri melirik tanda pengenal di bajunya.
Manager M.E (Main Entertainment).
Nama dari perusahaan milik papanya Alfin. Sepertinya perusahaannya dalam keadaan melarat dan sekaratnya para aktris.
Aku mendengus sinis. Lalu berjalan pada ibuku. Aku tersentak pada pelanggan yang bertepuk tangan.
"Anakmu hebat!"
"Dia sangat menyayangi ibunya."
Ibu tersenyum mendengar pujian-pujian itu, dan menulari ku juga. Tapi tidak dengan dengan hatiku yang kesal karena awal-awal ibuku cuma jadi tontonan saja tanpa ada yang mau membantunya.
"Ibu, ada yang mau aku bicarakan."
Riak wajahku yang serius mengartikan maksudku pada Ibu. Beliau mengangguk. "Baiklah, kita ke belakang."
Ibu mengajakku ke dapur. Aku terkejut merasakan kakiku tak menapaki lantai dan bokongku didudukkan di kursi. Wajahku memanas meski perlakuan ini sudah sering ku terima dari ibu.
"Apa yang mau Agina bicarakan?" Ibu duduk di depanku, dan kami cuma dibatasi oleh meja bulat.
Aku meletakkan kertas lusuh yang sadari tadi ku genggam di hadapan ibu. Ibu langsung membukanya dan matanya terbelalak.
"Ini cek dan nominal tulisannya pun.... Agina dapat dari mana?" tanya ibu menunjukkan raut kecemasan.
"Dari Tuan Pratama, beliau juga bersedia menyekolahkan anak-anak mulai besok."
Sontak kedua tanganku digenggam lembut. "Apa yang Agina korban untuk mendapatkan ini?"
Mataku membola. Tentu karena pertanyaan ini memang kuharapkan, namun selalu ku tepis jauh agar aku tak merasa terluka. Tapi ibu malah....
Aku tersenyum dan membalas genggaman tangannya. "Aku cuma diminta berteman dengan anaknya."
"Menjadi pesuruhnya?"
Aku menghela napas. Siapapun pasti menangkap begitu maksud perkataanku, tapi aku tak boleh merasa begitu. "Tidak, Bu. Cuma berteman, dan kebetulan anak itu juga mengenalku. Dia yang menjaga aku dulu waktu di keluarga angkat."
"Tapi tetap saja balasan dari kebaikan hatinya adalah kebebasanmu. Kau sudah cukup terkekang selama ini." Ibu mulai menitikkan air mata.
Dan hal tersebut menciptakan kepanikan bagiku. "Ibu, kenapa menangis? Aku tidak terkekang kok, justru senang karena bisa membantu anak-anak yang membutuhkan seperti Ibu."
Aku melompat dari kursi dan mendekati ibu berniat menghapus air matanya. Ibu tidak membiarkannya dan malah menyatukan dahi kami. Isak nya semakin jelas.
Kebingungan melanda diriku, kenapa ibu sampai sesedih ini?
Terharu karena perbuatanku, atau sedih karena lagi-lagi berada di posisi yang tak menguntungkan?
"Mungkin Agina tak merasakannya, tapi Ibu melihat batasan pada dunia Agina yang tidak seluas orang lain. Batas, pembatas yang Agina garis dari rasa putus asa akan harapan yang tidak terlihat."
Ku hapuskan air mata ibu sambil tersenyum lembut. "Tidak ada yang seperti ini, Ibu. Mengapa Ibu sesedih ini gara-gara aku yang berusaha membantu anak-anak panti, dan aku juga bosan dengan keadaan kita yang melarat karena tidak dikirim uang oleh papa Roland. Kita butuh tambahan pendapatan uang."
"Ibu mendidik Agina terbiasa hidup susah ya, sampai Agina berpikiran genting begini?" Nadanya bertanya terdengar bercanda, tapi tidak pada ibu yang menatapku lekat.
"Manusia 'kan harus begitu."Jawaban ku seolah menjatuhkan beban sampai bahu Ibu turun. Ibu tersenyum pedih, kemudian memelukku erat.
"Terima kasih sudah berusaha demi kami."
Aku tersenyum dan membalas pelukan ibu tak kalah erat. "Terima kasih untuk kerja kerasnya, Ibu."
Seluruh hal yang dipermasalahkan Ibu memang tak aku mengerti, tapi satu yang pasti Ibu mengkhawatirkan ku makanya emosinya tak terkontrol tadi. Dan itu sangat berharga bagiku sebagai pijakan untuk langkahnya.
Setidaknya....
Malam harinya.
"Apa terlalu banyaknya?" Aku mengetuk-ngetuk pena pada meja dengan satu tangan lagi mengangkat buku.
"Sebaiknya aku kabari dulu."
Aku mengambil ponsel di depanku yang diberikan kak Steven agar aku bisa menelepon paman Rangga.
Bunyi tut pertanda orang diteleponnya menerima. "Selamat malam, paman Rangga. Maaf menelepon di waktu selarut ini, Anda tidak mau tidak ya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rasa yang Hilang
Romance"Meski kita harus melalui banyak hal, kita pasti akan meraih musim semi yang bertiupan bunga sakura." ....... Berawal rasa ingin melindungi, Agra tak menyangka akan seterikat ini dengan Agina hingga ia ingin gadis itu tetap berada di sisinya. Seda...