6. Intimidasi

20 16 0
                                    

~Hidup ini tidak bisa ditebak, jadi nikmati saja hal yang kau rasakan sekarang baik suka maupun duka.

🌸🌸🌸

Tok! Tok!

Itu ketukan pintu yang berasal dari luar. "Waktunya makan malam, Pangeran."

Kondisiku sudah siap, jadi segera saja aku membuka pintu.

"Lewat sini, Pangeran." Pelayan itu memberikan arahan.

Aku cuma memandangi lorong yang ditunjukkan. "Siapa nama, Paman?"

Pria itu tampak terkejut. Namun kemudian membungkukkan hormat. "Edward, Pangeran."

"Edward, kau saja yang berjalan di depan dan aku akan mengikuti mu," cetus ku.

"Baiklah, Pangeran."

Lalu, sekarang aku mengikutinya ke ruang makan. Dan Edward yang berjalan di depan lebih mudah baginya membuka pintu untukku. "Silahkan, Pangeran."

Pintu tertutup. Dan barulah aku mengetahui siapa saja penghuni istana ini melalui peserta yang duduk di meja makan panjang. Semuanya berjumlah lima orang, ah jangan lupakan bayi yang digendong oleh putri Keyla jadinya enam orang.

"Duduklah," ucap nenek.

Aku mengangguk. Segera aku menuju kursi yang tepat berhadapan dengan nenekku, tentu saja kelakuanku itu mendapat tatapan mengintimidasi dari orang-orang di sana.

"Kau berani juga ya. Apa kau pikir pantas duduk di kursi terbaik di meja makan? Ayahku yang merupakan pangeran pertama saja tak pernah berpikir untuk duduk di sana," sindir Aries, putra pertama dari Hao dan Kayla. Aku satu lebih tua darinya, wajar kalau dia tak menghormati ku karena perbedaan yang sedekat itu.

"Memang apa yang ayahmu lakukan sampai berhak untuk duduk di sini? Dan mengingat jasa ayahku, kurasa aku bisa duduk di sini menggantikan ayahku," jawabku tersenyum puas melihat wajahnya yang menahan murka.

"Kau harus membuktikan dirimu sendiri, Bocah. Jangan menjadikan ayahmu sebagai alasan kekuasan mu," sahut nenek tanpa ekspresi seraya menopang tangan.

Dia menatapku dengan mata merendahkannya itu.

Namun, aku malah melakukan hal yang sama seperti beliau. "Tidak, justru kedatanganku ke sini sudah membuktikan keberanianku untuk menghadapi kalian."

Prok! Prok!

Suara tepukan tangan yang berasal dari paman Hao. Dia tersenyum jenaka. "Wah, kau benar-benar menganggap kami ini musuh ya. Tapi kau harus ingat, kau sedang berada dalam wilayah kekuasaan kami lho. Jadi, bersikap baiklah."

Lirikan tajam diujung kalimat tidak mempengaruhiku sama sekali. Justru ketika aku ingin membalas, suara tangisan bayi terdengar.

"Sheryl, pasti ketakutan ya. Tidak apa-apa." Putri Kayla mencoba menenangkan bayi dalam buaiannya.

Aku mengalihkan pandanganku pada Bibi. "Kenapa Bibi tidak titipkan saja bayinya pada pengasuh, ini waktunya makan lho. Harusnya tidak ada gangguan apapun."

Aku tak bermaksud menyindir atau apa, karena istri dari paman Hao kelihatannya baik.

Putri Kayla tersenyum canggung. "Ah, maafkan saya. Kalau begitu, saya akan makan di kamar bersama Sheryl. Saya pamit mengundurkan diri semuanya."

Akhirnya Bibi pergi dari ruang makan meninggalkan kebingungan pada diriku.

Mengapa aku merasa tidak ada yang peduli pada, Bibi?

Aku melirik semuanya yang mulai memakan makanannya santai, bahkan tadi tidak ada yang bereaksi ketika bibi meminta pamit.

Cukup aneh, tapi aku memutuskan untuk mulai memakan makananku juga.

Akan aku pikirkan nanti.

Setelah melewati makan malam yang mencekam, akhirnya aku kembali ke kamarku.

"Ini seragam Pangeran buat sekolah besok." Edward menggantungkan seragamku di dalam walk-in closet.

Aku yang saat ini terlentang di kasur pun terduduk. "Baik, terima kasih."

Edward membungkuk. "Sama-sama, Pangeran. Ada yang Anda butuhkan lagi?"

"Tidak ada."

"Kalau begitu, saya permisi. Selamat beristirahat, Pangeran."

Aku mengangguk dan barulah Edward keluar.

Aku membaringkan diriku kembali dan menghela napas. "Bahkan di dalam kamar yang aku huni sendiri pun terasa sesak, seperti ada mata yang mengawasi ku setiap saat."

Aku memegang piyama yang kupakai. "Aku merindukan keluargaku dan Claudya juga, kuharap anak itu tak melakukan tindakan berbahaya lagi."

Aku jadi kepikiran dan mulai terbayang beberapa hal yang dilakukan anak itu dulu untuk menyakiti dirinya sendiri. Lantas, aku menggeleng.

"Sudahlah, Olivia pasti mengawasinya dengan baik. Lebih baik aku segera tidur karena hari-hari berikutnya akan terasa panjang."

Keesokan harinya.

Setelah menyelesaikan menyiapkan diri dengan memakai seragam sekolah, dilanjutkan dengan sarapan bersama mereka lagi yang tentunya tidak ada putri Keyla, aku dipanggil ke ruang kerja nenekku.

Kini aku berdiri di depan nenek dengan nenek yang duduk di kursi kerjanya. Nenek melakukan pengecekkan pada raporku. Ku rasa itu tujuannya membangunkan sepagi ini agar dapat berbicara denganku sebentar sebelum berangkat ke sekolah.

Memeriksa catatan nilaiku!

"Hebat juga kau, Bocah. Semua mata pelajaran mu nilainya seratus," ucap nenek sambil menutup rapor dan meletakkannya atas meja.

Aku menyilangkan tangan di depan dada. "Nenek memanggilku ke sini apa untuk memberikanku hadiah, karena nilai raporku yang sempurna?"

"Masih terlalu cepat bagimu untuk menerima hadiah dariku, kau harus membuktikan dirimu lebih dari ini," tutur nenek bangkit dari kursinya.

Dan aku hanya mengikutinya keluar dari ruangan ini.

Akhirnya aku keluar dari kawasan kerajaan Luxury dan menuju sekolahku menaiki delman. Ku pandangi kota yang suasananya berbeda dengan malam tadi, sekarang terlihat seperti kota sibuk seperti lainnya.

Butuh waktu beberapa menit saja untuk sampai dikarenakan jarak yang tidak terlalu jauh. Bagaimana pun kota Lonely merupakan kota yang terbentuk dari gabungan wilayah kerajaan dan sekolah. Kerajaan terletak di bagian barat, sedang sekolah berada di bagian timur. Jadi, bisa diperkirakan seberapa besar kerajaan dan sekolahnya.

Aku menuruni delman dan sesudah memberikan penghormatan bagiku, delman itu pun meninggalkan tempat.

Ah, meski ini lebih besar dari sekolah ku dulu, tetap saja tak membuatku terpukau dengan gedung bertingkat yang jumlahnya lebih dari lima yang terlihat. Aku memasuki gerbang diiringi perasaan biasa-biasa saja.

"Akhirnya kau datang juga, aku sudah lama menunggumu."

Aku menghampiri Ezwar yang bersandar di salah satu pohon di halaman sekolah. "Aku senang mengetahui kau mau ke sini."

"Tentu saja, seseorang memberitahu Paman Rangga kalau dia butuh teman di sini. Terpaksa aku menemaninya." Ezwar menutup buku dan ingin memasukkannya dalam ransel, namun belum buku itu masuk justru buku tersebut jatuh akibat pukulan di lengan yang dilakukan olehku.

Ezwar membungkuk dan mengambil bukunya kembali. "Aku yakin kau punya rencana, dan rencananya bisa aku tebak dari dirimu yang memutuskan komunikasi dengan keluargamu. Pasti untuk hpmm."

Segera aku tutup mulut Ezwar. "Tebakanmu benar atau tidak, yang pasti aku memerlukan mu di sini. Tapi kau harus biasa saja."

Dia menampik tanganku. "Oke. Ayo, masuk."

"Kau Agra 'kan?"

Aku berbalik dan mataku terbelalak. "Paman Zoi!

Rasa yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang