28. Berbagai Rasa

2 2 0
                                    

~Kepercayaan itu didapat tergantung orangnya.

🌧️🌧️🌧️

Pada akhirnya aku berlari dari sana. Ya, mana mungkin aku menerjang seseorang yang tidak kukenal. Jadilah, aku memutuskan menyembunyikan diri walau sebenarnya semua orang bisa menebak aku ada di mana.

Contohnya saja Erwin, dia menghampiriku yang sedang bersandar di pohon kesayanganku untuk mengajakku makan malam.

"Ayolah, jangan bersikap kekanak-kanakan," bujuknya yang mulai hilang kesabaran.

Aku menghela napas. "Aku berkata jujur, Erwin. Aku tidak lapar."

"Makan tidak harus karena lapar. Lagi pun aku tahu kau begini karena ada orang tuaku 'kan? Tenanglah, kami bakal pergi besok," papar Erwin yang memancing atensi ku.

Keningku mengkerut. "Kami?"

"Iya. Aku, kak Steven, Indra, Lidya, si kembar dan Alfin kalau kau juga ikut."

Penyataan darinya membuatku menunjuk diri sendiri. "Aku?"

Erwin mengangguk.

"Baiklah."

Kini berbalik Erwin yang terkejut. "Serius?"

"Iya, kalau kau serius dengan perkataanmu tadi." Aku menyilangkan tangan di dada.

"Tentu." Erwin tersenyum.

Ah~

Tidak ada alasan khusus aku menerima ajakan Erwin, tapi aku cuma ingin mengikuti arus yang sudah diciptakan orang lain. Biarlah aku menjadi pihak menerima karena bagaimanapun aku memang tak punya hal untuk diraih.

Dan hidup seperti ini tak buruk juga.

Aku akhirnya mengetahui bahwa panti yang selama ini aku tinggali, rupanya terletak di pedalaman hutan yang butuh waktu untuk keluar dari sana. Aku juga baru tahu agar bisa tempat yang dimaksud Erwin harus menaiki pesawat, dan pesawat yang aku masuki ini ternyata milik orang tua Erwin.

Mendadak aku merasa konyol atas pemikiranku yang ingin diselipkan dalam koper oleh orang tua Erwin karena aku belum memiliki paspor.

Haha....

"Kau tertawa?"

Perhatianku dari jendela pesawat berubah ke gadis yang selalu menguncir rendah dua rambutnya.

Padahal kukira kak Lidya fokus membaca novelnya.

"Ada yang aneh dengan itu?" tanyaku balik yang bernada menantang. Toh, pertanyaan kak Lidya juga terdengar sarkas.

"Tidak, hanya terasa bermakna saja karena pertama kali kulihat tawa itu darimu."

Begitu ya.

Hanya itu batinku berkata. Setelahnya kembali memandangi lautan biru di bawah.

Aku tersenyum.

"Kau masih tidak percaya pada kami ya?"

Ah~

Kembali raut datar ku ketika beradu pandang kak Lidya. "Kalau tidak percaya, mana mungkin aku ikut kalian."

"Benar." Kak Lidya meluruskan punggungnya pada kursi. "Tapi rasa percayamu terlalu hambar."

Sontak aku tertawa bisnis. Aku mempelajarinya dari papa Johan dulu.

"Hambar? Aku baru tau kepercayaan itu ada rasanya. Kurasa aku mendapat pengetahuan baru dari Nona Pencinta Novel."

Oh. Wajah kak Lidya memerah.

"Kau-" Amarah yang ingin meledak karena aku menyinggung hal sensitifnya mereda, akibat sodoran cola si kembar merah yang duduk barisan sebelah kak Lidya.

Kak Lidya meminumnya tandas dan meremukkan kalengnya. "Aku benar-benar sabar menghadapi mu."

"Terima kasih."

Kalengnya terjatuh.

Aku berpaling ke jendela pesawat setelah melongokan mereka atas senyuman tulus ku. Kak Steven yang tak tampak dariku saja menjulurkan kepalanya.

Dasar!

Sebenarnya rasa percaya itu ada namun ku simpan jauh di lubuk hati sebagai bentuk kekuatanku. Aku tidak ingin digemparkan akan penghianat lagi, dan memilih menanamkannya.

Kami pun tiba di negara kelahiran Erwin dan kak Steven, tepatnya di ibukota Whitening.

Aku berjalan di samping Erwin sambil menggandeng Alfin melewati lorong rumah bak istana kekaisaran Luxury, tapi ini tidak megah melainkan lebih ke kata mewah dan elegan lantasan desainnya yang memang disebut mansion.

Aku membatin apa ya? Sendirinya saja tak pernah lihat istana kekaisaran Luxury.

"Selamat datang."

Jejeran pelayan yang mempersilahkan kami masuk pada pintu yang terbuka sendiri sepertinya, dan yaah~ aku menyembunyikan ekspresi kagum ku lewat kedipan mata.

Tapi tetap terlihat karena cuma aku yang berhenti sementara yang lain langsung duduk di sofa. Dan pun aku tersadar oleh tarikan Alfin yang membawaku duduk juga.

"Apa rumahmu begini juga?" tanyaku memandang Alfin.

Dia tampak berpikir. "Masih bagus yang ini."

Jawaban yang murah hati. Artinya rumah Alfin hampir seperti ini juga 'kan?

Aku menyerahkan diri pada sofa. Rasa lelah mulai kurasakan sekarang. Aneh, padahal di pesawat dan mobil tadi aku cuma duduk-duduk saja, tapi lemas ini tetap kurasakan.

"Lelah tidak?" Aku tersenyum hangat.

Alfin mengangguk semangat.

Apa-apaan. Aku tertawa kecil.

"Kayaknya keramahanmu buat Alfin saja ya?" sindir si kembar coklat. Ah, dia cukup mirip dengan kakaknya.

"Atau kau punya tujuan lain?" sambung kak Lidya.

Jadilah aku menunggu reaksi dari si bungsu, tapi si kembar merah itu tetap hanyut dalam permainannya.

"Untung dari keramahanku ini, kalian pasti berpikir aku berharap dibawa Alfin waktu dia dijemput kembali oleh keluarganya."

Yang ada dalam pikiranku mereka akan terkejut sebab aku berhasil menebak pikiran mereka, namun yang terjadi mereka justru tidak menunjukkan reaksi apapun.

"Tidak, aku tidak berpikir ke sana," sahut Erwin.

"Aku juga." Indra.

"Aku justru berpikir lebih kejam. Kau akan memanfaatkan kedekatanmu dengan Alfin untuk mengendalikan keluarganya."

Spontan bantal sofa dariku terbang ke arah Fathan, tapi tak kena akibat burung yang entah dari mana terbang menghalangi.

"Romeo," pekik Fathan segera memungut burung itu.

Aku ikut panik lantaran reaksinya yang dramatis.

Fathan mengangkat burung itu dan memandangiku penuh amarah. "Kau-"

"Kau tahu Alfin tidak akan pernah dijemput 'kan?"

Serempak semua netra beralih pada kak Steven.

"Makanya kau bersikap ramah agar Alfin tak terlalu sedih dengan kenyataan itu. Perilakumu itu cuma bentuk rasa kasihan terhadapnya iya 'kan?"

Aku mendelik padanya. Kemudian menoleh pada Alfin yang tersenyum.

"Tidak, aku pasti bakal dijemput papa. Ah, tiba-tiba aku pengen pipis. Aku ke toilet dulu ya." Alfin pergi sambil membawa kericuhan di sini.

Aku menggertakkan gigi. "Kau...."

Aku melangkah pada kak Steven dan ingin sekedar memukulnya, tapi kak Steven lebih dulu memukul dirinya sendiri.

Mataku membola. Kak Steven tersenyum.

"Bagus, kini kau tahu rasanya marah."

Tes.

Dan kak Steven berhasil menitikkan air mataku.

Rasa yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang