21. Perlu Kugapai

12 10 0
                                    

~Jauh ya....

🌸🌸🌸

Sejauh ini yang aku tentang Agina adalah hasil pemikiranku saja, Agina jarang memberitahukan pasal dirinya dan lebih ingin aku menerka-nerka. Alhasil semuanya hanya tebakan dan aku kadang bisa tak mengerti Agina.

Dan itulah yang terjadi sekarang.

"Kau cuma perlu menjawab, Bocah. Jangan banyak tanya." Mata mereka melotot.

Jujur, untuk ukuran orang yang mau melakukan kejahatan mereka payah sekali. Mengapa tempat yang dipilih untuk mengancam seterang ini meski sepi, aku bisa kehilangan kewaspadaan ku jikalau bukan ada Agina di sini.

Jadilah aku berbalik menggenggam tangan Agina dan menariknya ke belakangku. Diiring ekspresi malas aku berkata, "Kami tidak tahu, Paman. Sadari pagi kami pergi berdua saja."

"Begitu ya."

Aku terbelalak akan gerakan tangan yang ingin mengambil Agina, tapi gagal akibat tubuh kami dibuat jatuh oleh Agina ke samping.

"Kalian...."

Agina bangkit seraya membantuku berdiri, lalu mengajakku berlari ke tempat keramaian. Aku menarik Agina berhenti ketika sebuah mobil berhenti di depan kami.

Gawat, ah tidak. Itu mobil ayahku.

Aku tersenyum senang ketika jendela mobil turun dan memperlihatkan ayahku. Kami segera masuk ke dalam mobil.

Tunggu, kenapa ada kebetulan seperti ini?

Mataku melebar. Jangan-jangan....

"Ini permainan ya?" pekikku pada keduanya yang tersenyum. Agina ikutan?

"Benar, kami sepakat untuk menguji mu," jawab ayah santai.

"Begitulah, tapi aku tidak ingat ada tanya-jawab ka Steven dalam rencana kita." Oh, mimik Agina berubah serius.

"Mereka bukan orang yang Paman tugaskan, bukan?"

Ayah juga tak tersenyum lagi. "Benar, sepertinya mereka mengerti rencana kita dan berlagak sama agar bisa mengorek informasi darimu tentang putra sulung William. Beruntung satu anak buahku berhasil mengabari sehingga aku bisa cepat ke sini."

Begitu ya.

Aku memalingkan wajah pada Agina dan perempuan langsung memberikan lirikannya padaku.

"Kenapa?"

Aku tersenyum kemudian menggeleng. Melihat kembali ke depan untuk menghindari tetapan Agina.

Agina, aku akan berusaha memantaskan diriku di sampingmu.

Begitulah tekadku, hingga karenanya aku tidak terlalu terbebani seperti pemberangkatan pertamaku ke negara Green Life.

Di kali kedua ini, tujuanku bukanlah untuk menghentikan nenek memanfaatkan ayahku, namun untuk meraup ilmu sebanyak mungkin agar tak lagi melihat sosok Agina berdiri di depan membelakangi ku.

Beriringan....

"Kapan kau kembali?" tanya Agina disertai mimik sedih tanpa disembunyikannya.

Aku bangkit dari acara pelukanku dengan Aprilia. Jujur, aku tidak menyukai situasi ini meski dari ini aku tahu arti diriku bagi Agina.

"Lima tahun, dalam jangka waktu itu aku bisa berjanji padamu," ucapku seraya tersenyum.

Aku maju memeluknya yang sigap dibalas Agina erat.

Berat bagiku untuk meninggalkan keluarga, Agina serta negara kelahiranku, namun ada tujuan yang harus ku gapai.

"Sudah, nanti pesawatnya tidak terbang-terbang," lontar Ibu. Beliau melebarkan tangan dan aku yang mengerti justru menarik Ibu untuk memeluk kami berdua. Oh, jangan lupakan Aprilia yang terhimpit dan Ayah yang bergabung.

Dapat kurasakan pelupuk mata yang berair, sehingga segera saja aku menyeru, "Ini kapan berangkatnya?"

Barulah aku terlepas dari kepungan yang hangat itu. Aku berbalik arah melangkah menjauhi mereka menuju pesawat di depan sana, tapi di sela-sela aku malah berhenti.

"Aku akan menunggumu."

Haha.... Kakiku bahkan sejalan dengan hatiku yang ingin mendengar kalimat itu dari Agina.

Benar-benar, Agina menjadikanku semebingungkan ini.

Pada akhirnya, aku memutuskan melambaikan tangan dikarenakan mulutku terlalu ingin tersenyum saat ini.

Begitu di dalam pesawat, aku dihadapkan dengan burung merpati dalam sangkar di sebelah kursi yang akan aku duduki. Ada secarik kertas di sana.

Berilah kabar. ...

Singkat. "Terima kasih, Ayah."

Perjalanan yang menyenangkan, aku menikmati waktuku berkenalan dengan merpatinya hingga waktu aku dibawa kereta kuda ke istana benar-benar tak terasa.

Aku kembali ke hadapanmu, Nenek. Begitulah batinku berteriak, akan tetapi mulut ini justru berkata disertai tundukkan kepala sebagai penghormatan.

"Salam hormat saya, Yang Mulia Permaisuri."

Sudut bibir nenek tertarik sebelah. "Pada akhirnya kau tetap kembali ke sini."

"Benar." Aku tersenyum pertanda tak tersinggung atas perkataannya, dikarenakan fokusku saat ini tertuju pada putri Kayla.

Tanpa peduli pada etika atau apapun itu, aku menarik putri Kayla dari sana. Sontak tindakanku menjadi pembuka mulut tanpa suara bagi semua orang yang melihat.

"Pangeran Agra," gumam putri Kayla.

"Ibu!" Sheryl yang kini bisa berjalan mengikuti kami sebisanya.

Aku berhenti menarik putri Kayla begitu tiba di taman kunjungan kami dahulu.

Ah, aku tidak tahu harus memulai dari mana....

Rambut yang menipis, kantung mata disertai wajah yang tidak bisa ditutupi kepucatannya, tulang berbalut kulit yang aku tarik dibagian tangan, gaun yang ku kenal karena sering dipakainya dulu. Begitulah deskripsi sosok putri dari kekaisaran terbesar di seluruh dunia.

"Kenapa Pangeran kembali?"

Dan yang lebih mengesalkanku adalah pertanyaan yang aku artikan sebagai tanda kepedulian darinya.

"Aku cuma melakukan yang menjadi kewajibanku sebagai calon pewaris."

"Pewaris? Memangnya Pangeran berencana menetap di sini? Tidak 'kan? Jadi, lebih baik Pangeran pulang dan biarkan Aries mengurus rumahnya."

Sungguh, aku tak pernah menduga kata-kata begitu keluar dari seorang Kayla Wedelson, seorang putri yang dikenal akan kelembutan dirinya. Lebih-lebih wajah datar yang biasanya tersenyum ramah.

Tapi tetap, hatiku tidak serius menanggapi perkataan putri Kayla.

"Ibu!" Sheryl berhasil menyusul yang mana menyelamatkanku dari kalimat yang tak bisa aku tanggapi.

Putri Kayla menyambut Sheryl dalam pelukannya. "Jangan ikut campur dalam hal apapun, Pangeran."

Setelah mengatakan itu, putri Kayla pergi.

Lantas aku meraup wajahku dan menghela napas.

Hari pertama di istana sunset yang buruk. Aku jadi khawatir akan hari-hari selanjutnya, dan dikuatkan dengan hari-hari yang kujalani sekarang.

Aku menyusuri lorong istana sendiri tanpa lalu lalang orang-orang, dan itu menimbulkan pertanyaan di kepalaku.

"Memang lorong ini tidak dibersihkan ya?"

Nuansa emas yang cerah menjadi gelap dikarenakan uap debu yang kentara selayaknya tak dibersihkan beberapa hari.

"Sepertinya memang tidak ada pelayan yang mengurus lorong ini."

Tidak ada dalam rencanaku selama memasuki istana ini untuk melangkah pada lorong yang berakhir dengan kamar putri Kayla dan Hao, namun sesuatu timbul ketika berpikir bagaimana kehidupan putri Kayla dalam kamar.

Aku berhasil memegang gagang, tetapi menyempatkan diri untuk bernapas panjang bilamana ada putri Kayla di kamar.

Bunyi pintu yang tak bisa disembunyikan. Agra segera menutupnya kembali.

Sontak bulu kudukku berdiri. Langsung saja aku berpaling ke sekeliling dan mataku terbelalak.

Aku terduduk.

Rasa yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang