10. Kehilangan

14 12 0
                                    

~Sakit.... Tapi rasanya berbeda ketika tertusuk pisau di bagian luar yang meninggalkan bekas yang mungkin sementara.

🌸🌸🌸

“Ayah tidak menyangka kau meminta Ezwar bersekolah bersamamu agar dapat berkomunikasi dengan Ayah,” ucap Ayah tersenyum padaku.

Aku bersedekap dada dan memutar bola mata malas. “Ayah tidak perlu mengatakan kata-kata seakan memujiku, aku yakin dari awal Ayah udah tahu rencanaku.”

Selanjutnya aku mendapat elusan di kepala dari Ayah membuatku menengadah padanya. “Mungkin, Ayah hanya tidak menyangka kau bisa berpikir sampai ke sana, padahal usiamu waktu itu baru tujuh tahun. Kalau Ayah mungkin lebih memilih mengabarinya lewat paman Zoi.”

“Aku tidak mau paman Zoi yang ada sangkut pautnya dengan kerajaan terlibat urusan sepele ini. Takutnya Paman malah disalahkan nenek,” jelas ku.

“Tapi, kenapa kembali? Ayah pikir kau ingin jadi pangeran,” tangkas ayahku.

“Pangeran, bukan menjadi kaisar. Aku masih ingin menjadi Direktur Pratama Group di negara Flowering, biar Aries saja yang jadi kaisar negara Green Life.”

“Begitu ya.”

Sepanjang perjalanan naik delman kami habiskan waktu mengobrol tentang aktivitas aku di istana dan ayah membahas aktivitas keluargaku. Sedang di pesawat aku memilih tidur pun alasannya di negara Green Life masih malam.

Jadi begitu terbangun, waktu di negara Flowering sudah siang.

Begitu aku turun dari pesawat, ibu dan adikku langsung memelukku, ayah juga yang aku tebak menunggu momen ini untuk memelukku.

Hatiku dipenuhi rasa syukur.

Kami pulang menggunakan mobil dan aku terus merenung keluar kaca, hingga aku terkejut pada mobil yang berhenti tiba-tiba. Aku terbelalak melihat rumah yang familiar lewat kaca. Lantas aku menoleh ke belakang seakan bertanya ‘kenapa berhenti di sini?’

“Pergilah,” ucap ibu seraya tersenyum.

“Terima kasih.” Terima kasih atas pengertian mereka.

Aku turun dari mobil dan tanpa sadar berlari memasuki kediaman Dreandara, sangat tergesa sampai pakar yang baru dibuka sedikit aku menyelinap masuk.

Dalam ruang tamu rumah Olivia, aku berteriak, “Claudya! Claudya, aku pulang!”

“Kenapa kau berteriak-teriak di rumahku?” Seseorang muncul. Perawakan rambut pirang dan mata agak keunguan gelap masih ku kenali dalam memoriku.

“Olivia, dimana, Claudya?” tanyaku tergesa-gesa menghampirinya.

“Siapa, Claudya?” tanya Olivia ditambah ekspresi bingung.

Aku pun mengikut kebingungannya yang tidak terlihat dibuat, namun jantung yang berdetak keras karena rasa tak sabaran kini menjadi lebih kencang lagi akibat perasaan tidak enak mendadak muncul.

“Claudya adikmu, kau tidak mengenalnya?” tanyaku kembali, dan rautnya masih bingung.

Apa yang terjadi? Apa Olivia mengalami amnesia atau semacamnya?

“Setahuku, aku cuma punya satu adik lagi namanya Laskar. Kalau Claudya, aku tidak tahu,” jawab Olivia dan meyakini ucapannya karena tidak ada kegelisahan saat menjawabnya.

Tapi sejak kapan Olivia punya adik laki-laki?

“Agra, Claudya sudah pergi.”

Seruan dari seseorang yang berdiri di tangga, yang seakan menghantam dadaku dengan benda keras. “Apa maksud, Paman?” tanyaku terputus-putus akibat sesak yang tiba-tiba, pada ayahnya Olivia.

Rasa yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang