29. Alur

1 1 0
                                    

~Hidup tenang seperti air yang mengalir bahkan ketika ada batu menghalangi, air selalu tahu cara meloloskan diri.

🌧️🌧️🌧️

Aku mengusap kedua mataku yang tadi kembali meneteskan air asin, dan juga hidung yang mengeluarkan ingus.

"Wajahku jelek banget." Meski begitu aku tersenyum menatap kolam berisi ikan hias di hadapanku.

Jujur, perasaanku sekarang bingung untuk aku artikan. Antara meluap-luap di dada dan menggelitik di perut, tapi bibirku ingin sekali melengkung ke atas.

Aku tertawa hambar. "Gila."

"Hei, itu bukan kata yang diucapkan anak kecil lho."

Seketika aku menggeser diri ke ujung kursi, membiarkan manusia albino itu duduk di ujung satunya.

"Kau bukannya tidak boleh terkena sinar matahari ya?" tanyaku agak rendah agak ia tak tersinggung.

Biasanya orang yang ab-normal pada jati dirinya memiliki perasaan yang sensitif, apalagi kalau disinggung hal yang menyangkut kekurangannya.

"Bukan tidak boleh, hanya kulitku berakhir kemerah-merahan," jawab Indra tersenyum.

"Dan beresiko terkena kanker kulit," sambung ku agak menghentak.

"Aku manusia albino yang sehat, kau tidak perlu khawatir. Lagi pula aku memakai topi dan hoodie, jadi tubuhku terlindungi."

Oke, dia sendiri yang keras kepala. Aku memutar bola mata.

Telingaku menangkap Indra yang terkekeh.  Lantas aku meliriknya tajam.

"Kau ini penipu ya. Tubuhmu kecil tapi pikiranmu seperti orang dewasa, sampai Alfin si childish itu saja bisa kau urusi. Aku jadi penasaran dengan usiamu."

"Dewasa apanya. Itu terjadi karena aku memiliki kasih sayang pada Alfin, tidak ada sangkut pautnya dengan usiaku," cetus ku kurang bersahabat.

"Begitu ya." Indra kembali tersenyum dan hal tersebut membangkitkan kejengkelan dalam diriku.

Ugh.

"Yang lainnya pada kemana?" tanyaku menoleh padanya.

Dia menutup mata ingin merasakan angin. "Latihan mungkin."

"Latihan, latihan apa?"

Aku menganga.

Kak Lidya memakai sarung tinju dan memukul guling di depan, kak Steven yang mengangkat dua barbel kecil, Erwin dengan paralelnya, Fathan dengan monkey bay nya, dan apa-apaan juga Alfin ikut lari cepat di treadmill. Ditambah Nathan yang sibuk sama ponselnya.... Ah, itu sudah biasa.

"A-apa maksud semua ini?"

"Hanya latihan." Indra menunjukkan senyum sambil menuju Nathan dan mengajaknya bangkit dari rebahannya.

Dan sekarang malah one by one yang terjadi antara mereka.

"Jadi, bagaimana keputusanmu?"

Aku menengadah ke atas pada sosok dibalik semua ini.

"Kau masih bisa ke sini jika melakukan hal seperti mereka, tapi kalau tidak mau kau akan langsung dipulangkan detik ini juga," ucap paman Roland melirik diriku.

Itu artinya aku harus memperjelas masa depanku sekarang, antara bersama mereka atau anak panti biasa.

"Tapi Anda sudah seenaknya saja mengotori saya dengan lumpur."

Yang bermaksud menyindir karena lebih dulu membuatku mengetahui semua ini sebelum benar-benar menanyakan pendapatku. Tidak, sadari awal aku memang diarahkan untuk melihat jalur yang ini.

"Ya, sekalian saja kau menyatu."

"Bagaimana denganmu, Alfin, kau Meu berada di sini?" Aku menanyakan pendapat pada orang baru juga.

"Kalau Agina mau, aku juga mau."

Mengucapkan kata 'mau' yang berarti timbangannya lebih ke mau, dan itu menjadi peganganku.

Lantas aku melangkah pada Erwin yang langsung berdiri melihatku berjalan ke arahnya. Aku melayangkan kepalan ku, tapi berhasil ditangkap olehnya.

"Agina."

"Aku berada di sini sampai aku berhasil memukul Erwin."

Waktu itu aku berpikir semua berawal dari laki-laki ini, jadi harus diakhiri oleh laki-laki ini juga.

Dan itu berjalan sampai satu tahun sekarang diiringi yang awalnya kupikir hanya ada keterpaksaan. Tapi sekarang kebahagiaan itu ada, aku percaya pada perasaan ringan ini.

Tuk.

Aku kesal.

Tuk, tuk, tuk....

Aku menangkap burung pelatuk yang dari tadi mematuk kepalaku. "Fathan! Ambil Romeo mu ini! Dia suka sekali mematuk kepalaku, bisa-bisa nanti berlubang!"

"Romeo masih dendam kayaknya." Fathan mengulurkan tangan yang ada ulatnya.

Aku mendengus dan melepaskannya lantaran burungnya mulai ribut. Dengan patuh ia terbang pada Fathan dan memakan makanannya.

"Enaknya jadi burung bisa makan ulat yang enggak perlu dibeli," celetuk salah satu anak panti.

"Benar juga ya. Soalnya aku lapar," balas anak lainnya.

Aku menatap sendu anak-anak yang berbaring atas rumput. Mereka mengeluh kekurangan, tapi tak pernah menuntut lebih pada ibu Sari yang hanya punya usaha toko bakery.

Dan satu toko bakery mana mungkin sanggup membiayai lima puluh tiga anak untuk makan, dan kebutuhan lainnya.

Namun tidak dapat dipungkiri penyebab tersendatnya kebutuhan dikarenakan keberadaan panti asuhan ini sendiri tidak diketahui oleh pemerintah. Dan karena alasan pribadi ibu Sari mengusahakan sendiri untuk panti ini, dan beliau pun yang berhati berkilau layaknya permata selalu membawa pulang anak yang ditelantarkan.

Sehingga panti asuhan ini menampung anak lebih banyak dari panti asuhan lainnya.

Sudah beberapa Minggu kondisi kami begini dikarenakan donatur utama yaitu orang tua Erwin-Steven tidak ada kabar sama sekali, menyebabkan kerisauan di hati kami berdelapan.

"Belum ada panggilan?" tanya kak Lidya dan kak Steven langsung menggeleng.

"Terakhir kali kita bertemu papa-mama tiga bulan lalu, setelahnya tidak ada kabar lagi," jelas Indra.

Aku tidak tahan lagi!

Aku berdiri. "Aku mau mengunjungi ibu dulu."

"Eh, kau bakal ke kota?" kejut Fathan dan lainnya juga.

"Iya, dan tidak boleh ada yang ikut," sarkas ku pada Indra yang baru membuka mulut.

Segera aku pergi dan keluar dari hutan yang harus ditempuh sekitar lima belas menit.

Aku berjalan di trotoar sambil menunduk.

Sekarang bagaimana cara aku mendapatkan uang?

Begitulah isi kepala yang menimbun ku sampai tak sadar akan tiang di depan.

"Akh." Aku mengusap dahiku. Karenanya, aku jadi memandang ke depan dan menjadi pusat perhatianku.

Orang-orang ramai berkumpul di satu tempat memang layak menjadi perhatian, terlebih alasan dibalik keramaian itu.

Ternyata ini hari diskon mall Flower.

Aku tersenyum getir. "Andai aku punya sedikit uang, pasti bisa ku beli banyak makanan."

Netraku menangkap sosok yang tak asing baginya bahkan bagi dunia. "Rangga Pratama?"

Pria yang sedang menelpon sambil bersandar di tiang itu menarik atensi orang-orang, namun karena penjagaan tidak orang yang bisa mendekatinya.

"Dia terkenal baik hati, mungkin dia bisa meminjami ku uang."

Itulah sebab aku berjalan padanya, dan berakhir dipeluk laki-laki asing.

Rasa yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang