24. Tragedi √1

7 6 0
                                    

~Tragedi adalah takdir.

🌸🌸🌸

"Kenapa kau harus mengatakannya di depan semua orang?" hardik nenekku yang mengejar ku sampai kamar.

Aku mengangkat koper ke atas kasur. "Nenek juga mengumuminya di depan semua orang."

Segera saja aku membereskan barang-barang ku.

"Karena memang harus diberitahukan ke semua orang."

Dengan tujuan ingin mengekang ku melalui suara rakyat? Aku tidak peduli.

"Tanpa mempertanyakannya pendapatku?" Aku melotot pada nenek, dan nenek pun menyipitkan matanya.

"Dari awal aku sudah bilang, aku tidak punya keinginan menjadi kaisar. Kedatanganku ke sini cuma untuk mengurangi beban ayahku dan juga belajar. Dan aku menjanjikannya lima tahun, jadi sudah waktunya aku kembali ke tanah airku,' tuturku menurunkan koper dan mulai menariknya.

"Kau tidak bisa berbuat begini, Agra!" pekik nenekku murka.

"Memang hal apa yang bisa menghentikan ku? Aku bahkan tak peduli pada orang-orang negara Green Life," hardik ku balik, dan nenek tentu tak bisa menjawabnya lagi. Sehingga aku bisa melangkah tanpa dihalang apapun lagi.

Begitulah kejadian yang terjadi kemarin sebelum akhirnya aku berada dalam mobil bersama ibu tercinta.

"Bagaimana bisa kau lupa adikmu juga bersekolah di negara Green Life dan pulang sendiri? Jadilah kita harus menjemputnya lagi sekarang." Ibu menghela napas.

"Lagaknya jadi lebih keren, setelah perselisihan tanpa memikirkan apapun langsung pulang ke tanah air," jawabku yang sekarang mulai menunjukkan sisi hangat.

Sungguh, aku tak mau menyia-nyiakannya lagi  dan berakhir menyesal. Berada di negara Green Life membuatku menyadari hal-hal yang ingin aku lakukan bersama orang berhargaku, meski mimikku masih kaku.

"Keren matamu."

Aku tersenyum tipis. "Lagian April juga terlambat menaiki pesawat."

"Ya, ibu memiliki dua anak. Si paling awal dan si paling akhir, cuma menantuku Agina yang pertengahan."

Kali ini aku memalingkan wajah, tak mau ibu melihat wajahku yang memanas.

"Ayahmu dan Agina sudah sampai di mall. Kita harus cepat-cepat menjemput April di bandara, jangan membiarkan mereka menunggu lama."

"Iya." Aku tetap dalam posisiku yaitu menghadap jendela mobil.

Awalnya aku sibuk akan pemikiranku, namun sesuatu menarik perhatianku untuk lebih fokus memandangi dibalik kaca.

Sebuah mobil yang bergerak sejajar dengan mobilku, juga dari pantulan spion aku jadi melihat ke belakang dan menemukan mobil sama yang sejak awal perjalanan ada di belakang mobil kami.

"Ada apa, Agra?" tanya Ibu yang mungkin bingung atas kelakuanku.

"Tidak ada." Aku memperbaiki dudukku dan menghadap ke depan.

Ah, di depan ada perempatan. Kita lihat kemana mobil itu akan berbelok.

Namun mataku melirik sesuatu. "Pak, seat belt-nya kenapa tidak di pasang."

Pak Juardi menyempatkan menoleh ke belakang. "Saya merasa sesak, Tuan Muda."

Sesaat aku menyadari mobil di samping mulai memelan. Apa karena lampu merah di persimpangan? Tapi bukannya terlalu awal?

Mobil kami mulai memelan juga.

Klik!

Apa?

Sebuah mobil dari arah berlawanan menerobos lampu merah dan melaju cepat ke mobil kami. Pak Juardi keluar dari mobil sendiri.

Rasa yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang