Saat Yaka dan rombongan tiba di rumah Bulakrejo tempat keluarga ibunya biasa berkumpul saat lebaran, yang terlihat pertama kali olehnya adalah dua keponakannya sedang berebut sepotong terakhir makanan dalam kuah kecokelatan, di mana salah seorang dari mereka bagian depan kausnya sudah belepotan kuah yang sama.
"Punyaku!" seru Aldi, keponakan Yaka yang lebih kecil dan bajunya belepotan kuah. Kakaknya, Alma, yang lebih tua tiga tahun, tidak mau kalah menarik mangkuk plastik itu lebih keras.
"Kata Bunda tadi 3-3. Kamu udah makan 4, ini punyaku," gerutu Alma. Karena dia sebentar lagi masuk SD, jadi dia lebih bisa berhitung ketimbang Aldi. Mendengar itu, Aldi menangis keras-keras hingga ibu mereka, Mbak Sana, sampai datang menghampiri keduanya.
"Ya Allah, berantem mulu kalian berdua," omel sang Bunda. "Ini kenapa lagi masalahnya?"
Yaka yang menyaksikan sendiri kejadian tersebut langsung angkat bicara, "Aldi yang curang. Harusnya makan 3-3, dia makan 4 sendiri. Itu sisa satu mau diambil juga sama dia."
Mbak Sana langsung mengangkat Aldi dalam gendongan dan membawanya pergi. Bocah tersebut makin tantrum dan suara tangisnya meraung-raung seperti kesetanan. Alma yang terlihat seperti hampir menangis menatap Yaka lamat-lamat. Sambil diam-diam menyeka hidung dengan ujung lengannya kemudian berbisik lirih, "Makasih, Om Yaka."
Yaka mengusap kepala Alma seraya mengacak-acak rambut ikalnya dengan gemas, lalu masuk ke dalam rumah setelah mengucapkan salam. Di dalam sana sudah ramai orang, beberapa bocah sedang menikmati makanan yang sama dengan yang diperebutkan oleh Alma dan Aldi. Yaka menghampiri sepupunya yang masih SMP lalu duduk di sebelah gadis remaja itu.
"Pada makan apa sih?" tanyanya.
"Pempek sutra dari Bude Aminah," jawab Masayu. "Kata Bude, dia dikasih pempek sutra sekotak gede sama yang bikin kue karena pesen banyak."
"Pempek sutra apaan?" tanya Yaka. "Bikinnya pake tahu?"
Masayu memutar bola mata dengan geram, sebelum menunjukkan pempek di mangkuknya yang tinggal setengah gigitan. "Pempek dari putih telur, sama ada rasa udangnya dikit. Enak lho Mas, ambil aja keburu kehabisan ntar. Karena ada yang alergi udang, jadi jam segini belum pada abis."
Tanpa menunggu aba-aba lagi, Yaka langsung lari ke dapur rumah nenek yang denahnya telah ia hafal di luar kepala, kemudian mendapati sekotak thinwall ukuran 3600ml yang tersisa kurang dari sepuluh potong pempek sutra berbentuk lenjer. Yaka menyadari jika pempek-pempek tersebut masih sedikit hangat dan permukaannya agak kecokelatan, pertanda sudah digoreng, lalu ia menuang kuah yang tersedia. Saat kembali ke ruang keluarga, Yaka duduk di dekat keponakannya yang lain, yang sedang duduk setengah melingkar dengan sebuah toples di tangan. Suara kunyahan mereka yang renyah menarik minat Yaka untuk mencari tahu.
"Makan apa kalian?"
Keponakannya yang masih SD kelas 2, Chandra, mengacungkan toples di hadapannya. "Keripik bawang dari Eyang Aminah."
"Minta, dong! Sebiji aja," bujuk Yaka. Tadinya Chandra tampak ragu, namun Yaka tidak kurang akal untuk merayu bocah-bocah itu. "Nanti uang THR-nya ditambah 10 ribu."
Mendengar bujukan tersebut, Chandra langsung menyodorkan toplesnya dan Yaka tidak membuang kesempatan ini untuk mengambil segenggam. Protes dari bocah-bocah lain tidak lagi menjadi halangan sebab Yaka telah menyiapkan banyak uang baru pecahan lima ribu dan sepuluh ribuan untuk dibagikan ke mereka.
Keripik bawang tersebut beraroma gurih dan wangi seperti aroma bawang goreng yang menggugah selera. Teksturnya renyah, tidak keras sama sekali, dan tidak seret di tenggorokan. Begitu pula pempek sutra yang ia gigit terasa lembut dan lumer di mulut. Yaka sedikit iri pada Bude Aminah sebab beliau memiliki akses dengan pedagang-pedagang makanan yang enak-enak seperti ini.
"Lho, dateng-dateng kok langsung makan, bukannya salim dulu?" terdengar teguran Bude Aminah yang khas dan membuat Yaka mengangkat kepalanya. Meski ia sudah menginjak kepala tiga, namun di hadapan para orang-orang tua di keluarga ini, Yaka setara dengan bocah-bocah di lingkaran pertemanannya yang sibuk mengunyah kue bawang sambil mabar Free Fire.
"Eh, Bude," sapa Yaka seraya menyeringai jahil. "Habis baunya enak, jadi bikin lapar. Bikin sendiri, Bude?" tanyanya berbasa-basi, meski ia sudah tahu dari mana makanan ini berasal.
Seraya mengibaskan tangan, Bude Aminah menjawab, "Ya ndak mungkin tho, Bude ada waktu buat bikin kue-kue gini sejak dititipi momong anaknya masmu Nugraha."
Nugraha adalah anak sulung Bude Aminah yang sudah menikah dan memiliki tiga anak yang masing-masing usianya 8 tahun, 4 tahun, dan bayi baru lahir. Salah satu dari anak Mas Nugraha, yaitu Zayyan si anak tengah, ada di gerombolan Chandra ini. Dia sedang sibuk bermain busy book sambil ngemil kue bawang, meski saudara-saudara lain memegang gawai masing-masing.
"Oh, jadi ini pesen?"
"Dikasih sama yang jual kue cokelat."
Yaka membelalak, teringat ukuran kotak yang besar di meja dapur. "Sebanyak itu?"
"Iya, katanya Mbak Sasa punya banyak banget sisa putih telur karena habis bikin pesanan kue kering, akhirnya dia pake buat bikin pempek sutra. Kue bawangnya enak ya? Itu dari dia juga, soalnya ada sisa kunci biru 2 kilo jadi dia olah lagi buat cemilan asin."
Yaka tertegun melihat banyaknya kemampuan yang dimiliki oleh satu orang sekaligus. Tidak hanya kue kering chocolate almond-nya yang menggoda dan membuat Yaka menyesal tidak ikut prapesan, seandainya cuitan tersebut lewat di linimasanya, namun ia juga pandai memanfaatkan bahan sisa.
Tersadar sesuatu, Yaka menelan ludah dengan getir. Ia tadi menyebut pemilik akun tersebut dengan sebutan 'Mas Baron' di balasan postingan twitternya, padahal Bude Aminah memanggil beliau dengan 'Mbak Sasa'. Bagaimana ini, dia sudah salah sangka pada pembuat kue kesukaannya. Semoga dia tidak tersinggung dengan perilaku Yaka.
"Yang punya ini ... cewek, Bude?" tanya Yaka. "Kok stikernya Baron, sih?"
Bude Aminah yang sibuk menidurkan Ganes di gendongannya, terkekeh keras mendengar pertanyaan tersebut, hingga Ganes terguncang hebat dan ia merengek akibat tidurnya terganggu. Mbak Bella, istri Mas Nugraha, buru-buru meminta Ganes dari ibu mertuanya untuk ditidurkan di kamar.
"Baron itu nama kucingnya Mbak Sasa. Gendut, ginuk-ginuk, bulunya halus karena mandinya ke salon padahal cuma kucing kampung biasa. Kadang kalau Bu Yuni ke arisan, dia ngikut di belakang, nurut banget, udah dianggap kayak cucunya sendiri."
Yaka sangat malu pada dirinya sendiri setelah mendengar penjelasan tersebut. Namun, sudah terlambat untuk meralat, di saat 'Mbak Sasa' sendiri mungkin sudah membaca balasan tersebut dan menertawakan kebodohan Yaka yang salah mengira gendernya, padahal Yaka sendiri sempat protes saat keliru dipanggil 'Mbak Naya'. Seseorang, tolong selamatkan Yaka sekarang juga dari situasi yang canggung ini.
***
Halo teman-teman! Ada yang nggak dapat notif update cerita ini? Sama, aku juga. Kalau gitu, kita atur aja update cerita ini jadi jam 10 pagi atau jam 10 malam setiap harinya ya, biar kalian bisa langsung mampir ke Wattpad kalau waktunya sudah dekat buat baca bab terbaru cerita ini. Ngomong-ngomong, sepi banget komentarnya. Nggak seru kah ceritanya? ╥﹏╥
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh di Tangan Bu RT
RomanceAda sebuah pepatah mengatakan, 'the way to a man's heart is through his stomach'. Cara mengambil hati seorang pria adalah lewat makanan. Namun, Sasa tidak percaya dengan pernyataan tersebut. Sabria Maharani, perempuan lajang di usia kepala tiga, su...