Sabria dan Nayaka sudah berada di dalam mobil, siap berangkat menuju toko bahan-bahan kue ketika pintu penumpang di belakang terbuka, lalu masuklah Ilyasa ke sana. Sabria menata Nayaka heran, seingatnya mereka hanya pergi berdua saja. Sambil cengar-cengir dia menatap Sabria dan Nayaka bergantian.
"Aku disuruh Mami ikut. Katanya nggak boleh berdua aja, nanti yang ketiganya setan. Kalau mau protes, bilang ke Mami."
"Ya, kowe setannya." Nayaka menghela napas panjang kemudian menyalakan mesin, "Siapa juga yang mau protes? Kalau mau jajan bayar sendiri, ya."
"Masa gitu sih sama adiknya sendiri?" tegur Sabria pada Nayaka. Kekasihnya tersebut menatap Sabria dengan sorot tak percaya, sebab Sabria baru saja membela adiknya.
"Mbak Sasa tahu nggak Yasa kerjanya apa?" Sabria menggelengkan kepala. "Dia insinyur mesin yang gajinya belasan juta."
Ilyasa menyeringai saat Nayaka membongkar penghasilannya. Sabria justru menatap mereka dengan takjub. "Jadi, kalian berdua sama-sama anak teknik?" Sependek pengetahuan Sabria dari yang diceritakan Mami, Mbak Kinanti bekerja sebagai dokter hewan dan ia memiliki kliniknya sendiri yang terpisah dari bangunan utama rumah. Namun, alih-alih mengobati kucing mahal atau anjing ras, pasiennya kebanyakan menolong sapi yang bersalin, mencukur bulu domba, hingga mengobati ayam. Meski begitu, Mbak Kinanti tetap melayani dengan sebaik mungkin.
"Bertiga, sama Mas Yana," jawab Ilyasa. "Dia lagi postgraduate di Belanda, sama anak istrinya. Tapi tahun depan mereka balik ke Indonesia buat lebaran di rumah, habis itu mungkin pulang lagi ke sana. Ngapain juga ke sini, susah-susah sekolah di luar gajinya nggak besar."
"Jadi urutannya ..."
"Mas Aryana, Mbak Kinanti, aku, Ilyasa," jawab Nayaka. "Keluargaku banyak ya?"
Sabria tergelak, "Ibu aku anaknya tiga. Kalau aku tinggal di lingkungan seperti kalian, mungkin aku juga akan mempertimbangkan punya banyak anak."
"Jangan, Mbak!" seru Ilyasa dan Nayaka hampir bersamaan. Sabria menattap mereka bergantian. Meski Bu Aminah dan Mami sering mengatakan jika Ilyasa lebih ganteng dari Nayaka, namun bagi Sabria mereka seperti pinang dibelah dua. Sehari-hari, Nayaka dan Ilyasa sering kali berselisih meski untuk urusan sepele, namun untuk beberapa urusan mereka kompak sekali.
Sambil cengengesan, Ilyasa menambahkan, "Nanti tiap lebaran yang aku kasih THR makin banyak."
Sabria tergelak mendengar alasan tersebut. "Aku kira kenapa," katanya seraya menyeka sudut-sudut mata yang sedikit berair. "Kalau kamu, Mas Yaka?"
"Aku nggak mau Mbak Sasa sakit," katanya. "Waktu Yasa lahir, Mami harus operasi caesar karena risikonya besar kalau mau bersalin secara normal. Aku cukup trauma lihat orang operasi karena waktu itu aku takut banget kalau Mami sampai kenapa-kenapa." Nayaka terkekeh lirih kemudian kembali fokus pada jalanan di hadapannya karena lampu sudah berubah menjadi hijau. "Mungkin kalau nanti Mbak Sasa mau punya anak banyak, kita usahakan biar prosesnya nggak terlalu menyakitkan, ya."
Sabria menatap Nayaka lekat, pria yang selalu berusaha terlihat dewasa dan tenang di luar, rupanya menyimpan rasa trauma yang besar. Tentu saja, meski hubungan Sabria dan ibunya tidak selalu berjalan mulus, namun jika dihadapkan pada kondisi yang sama dengan Nayaka, tentu ia pun akan takut kehilangan beliau. Sebab kini Sabria telah menjalani waktu beberapa tahun hanya berdua dengan Ibu setelah pernikahan Sandy, maka Sabria pun mulai bisa menerima jika hanya ibu lah satu-satunya orang yang bisa dijadikan teman ketika Sabria merasa kesepian.
"Oh, jadi gitu cara Mas Yaka ngedapetin Mbak Sasa, dengan jual cerita sedih buat cari simpati," potong Ilyasa dari jok belakang. Seketika, rasa haru yang sempat menggelayut sirna karena celetukan Ilyasa.
"Nggak gitu juga ya," balas Sabria. "Kamu tuh ketimbang nebak-nebak, kenapa enggak tanya langsung ke aku? Kan aku yang ngejalanin."
Ilyasa memicingkan mata, "Nanti kalau Mbak Sasa sudah minum air rebusan daun kelor, baru aku mau tanya-tanya."
"Sialan!" umpat Nayaka. Sadar jika ada Sabria di sebelahnya, ia buru-buru meralat, "Maaf Mbak Sasa, aku bukannya ngomong kasar ke Mbak Sasa."
Sabria terkikik geli melihat kepanikan Nayaka, "Nggak apa-apa Mas, aku juga paham kok kalau bercandaannya Ilyasa emang kedengerannya agak jahat."
"Oh, jadi sekarang mau sok-sokan playing victim nih di depan Mbak Sasa karena aku bully," gumam Ilyasa. "Menurut aku, Mbak Sasa ini orangnya terlalu baik, makanya dimanfaatin sama Mas Yaka."
"Ngomong sekali lagi aku turunin di depan Alkid lho," ancam Nayaka pada adiknya. Mendengar kemarahan Nayaka, tawa Ilyasa semakin membahana.
"Tuh kan Mbak, Mas Yaka tuh orangnya pemarah. Jangan mau sama pria red carpet kayak dia ini."
Sabria terkekeh melihat kelakuan Ilyasa. Ia jadi teringat pada Sandy, adik kandungnya yang sekarang di Yogyakarta. Dulu Sabria dan Sandy pernah sedekat Nayaka dan Ilyasa, namun kini interaksi antara mereka berdua jadi tidak sedekat masa-masa itu, karena jarak yang memisahkan dan proses pendewasaan membuat Sandy kehilangan kejenakaan masa mudanya saat masih lajang.
"Kalau nanti aku dan Mas Yaka udah menikah, kamu jangan sampai berubah ya, Ilyasa."
"Oh, tenang aja Mbak Sasa. Aku bukan Kesatria Baja Hitam, kok. Nggak kayak Mas Yaka yang sukanya nonton tokusatsu setiap sore pulang ngaji."
Sabria terus-menerus menertawakan celetukan Ilyasa yang meski sering kali garing, tetapi bagi Sabria yang selera humornya receh, tetap saja terdengar lucu. Mereka sudah sampai di tujuan pertama, yaitu Toko Cocoa di Danukusuman. Nayaka membukakan pintu bagi Sabria, namun menutup pintu belakang yang dibuka oleh Ilyasa saat dia hendak keluar. Sabria buru-buru menegur Nayaka untuk tidak bercanda yang membahayakan adiknya.
"Nggak boleh gitu, Mas, bahaya lho. Kalau Yasa kejepit gimana?"
"Enggak kok Mbak, justru karena aku tahu dia sengaja buka pintunya dilama-lamain makanya dia mancing aku buat balik bully," hibur Nayaka. "Aku nggak mungkin kasar ke adik sendiri, kok."
"Sengaja itu Mbak," terdengar sahutan Ilyasa setelah dia berhasil keluar dari pintu di sisi lain mobil. "Emang jahat aja Mas Yaka."
"Kenapa Mami mesti nyuruh orang kayak gini buat ngikutin kita sih," keluh Nayaka. Ilyasa tertawa puas mendengar kakak laki-lakinya capek dengan segala keabsurdan kelakuannya hari ini. Lalu pada Sabria, ketika mereka sudah di dalam toko bahan kue, ia berbisik, "Maaf ya Mbak Sasa, kami cuma bercanda kok. Udah biasa bercandaannya kayak gitu, jadi semoga nggak bikin Mbak Sasa jadi shock karena ngira kami kekerasan satu sama lain."
"Kamu lucu terus, traumanya apa sih?" tanya Sabria sepintas pada Ilyasa. Namun, karena perhatiannya sepenuhnya teralihkan pada rak berisi tepung beraneka macam; mulai dari tepung gandum dengan tiga tingkatan level kadar protein, tepung pati dari berbagai jenis umbi atau biji; tapioka, maizena, tepung beras, tepung ketan, hingga tepung tang mien yang biasa digunakan untuk membuat bakpao. "Mas Yaka mau aku bikinin bagel nggak? Pakai cream cheesse sama selai. Atau kalau mau gurih bisa pakai keju, daging asap, sama telur ceplok."
Sabria sibuk membicarakan banyak hal yang lezat dan menggugah selera, sehingga dia tidak sempat mendengar jawaban Ilyasa akan pertanyaannya.
"Trauma?" gumamnya lirih. "Nggak dipercaya sama orang yang disukai termasuk trauma nggak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh di Tangan Bu RT
RomanceAda sebuah pepatah mengatakan, 'the way to a man's heart is through his stomach'. Cara mengambil hati seorang pria adalah lewat makanan. Namun, Sasa tidak percaya dengan pernyataan tersebut. Sabria Maharani, perempuan lajang di usia kepala tiga, su...