30. Mami dan Ibu

1.3K 284 21
                                    

"Mami!" seru Sabria saat membukakan pintu depan. "Ayo masuk du—ya ampun, Mami bawa apa ini? Mami niatnya bawa buah tangan apa mindahin isi toko oleh-oleh ke rumah saya?"

Mami terkekeh mendengar celetukan Sabria. Beliau datang dengan diantar Pak Husein. Mereka berdua naik kereta yang tiketnya dipesankan oleh Nayaka. Tadinya, Nayaka ingin ikut ke Surabaya juga, tetapi dicegah oleh Mami, sebab sepulangnya beliau ke Solo nanti mereka akan bersama Sabria, jadi dia bisa bertemu di rumah, sekaligus menghemat biaya. Lagi pula, Nayaka harus menyelesaikan deadline dari Glamela untuk hari Jumat yang kurang dua hari lagi dari sekarang, dan dia ada tugas lain yang tidak kalah penting di sela-sela pekerjaannya; yaitu membersihkan seisi rumah.

"Ya ndak apa-apa tho, ini sebagian titipan dari Mas Yaka karena dia yang tahu makanan apa aja kesenengannya Mbak Sasa." Saat menginjakkan kaki ke dalam rumah, Mami celingukan mencari keberadaan seseorang. "Ibu ada di rumah? Tadi Mbak Aminah bilang kayaknya Bu Yuni ada di rumah."

"Oh, ada kok Mi. Tunggu sebentar, mungkin masih—"

Tanpa menunggu dipanggilkan, Ibu Sabria tergopoh-gopoh muncul dari arah dapur dengan tangan sedikit basah akibat terburu-buru cuci tangan, untuk menghampiri Mami. Puncak kerudung instannya agak miring karena dipakai dengan tergesa.Beliau mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Mami. Mami langsung balas dengan memeluk Ibu dan mencium pipi kanan kiri. Mereka berdua terlihat akrab, padahal baru pertama kali bertemu. Terhadap Pak Husein, ibu Sabria hanya menangkupkan tangan di depan dada tanpa bersalaman. Pak Husein pun membalas yang sama.

"Saya Aisyah, maminya Nayaka," kata Mami memperkenalkan diri. "Ini, papinya Nayaka, Husein."

"Saya Maryuni, ibunya Sabria," jawab ibu. "Buatkan minum, Nak, untuk Bu Ais dan Pak Husein. Mau minum hangat atau dingin?"

Sabria menurut, ia segera beranjak ke dapur untuk membuatkan teh dan kopi tanpa diperintah dua kali. Namun, belum jauh berjalan terdengar sanggahan dari maminya.

"Mbak Sasa, Nduk, cah ayu, ndak usah repot-repot Nak. Mami ke sini mau ngobrol berdua sama Sampeyan dan Ibu, kok sampeyan malah repot di belakang."

"Nggak repot kok, Mih," sahut Sabria. "Cuma bikin teh aja."

"Kalau gitu air putih aja, Mbak. Papi harus ngurangin makan atau minum yang manis-manis."

Sabria mengurungkan niatnya untuk menjerang air panas demi menyeduh teh dan kopi, kemudian mengisi dua gelas berukuran sedang dengan air putih biasa. Sebab, saat terakhir kali ke Solo, ia ingat jika Mami tidak suka minum dingin. Waktu Sabria kembali ke ruang tamu sambil membawa nampan berisi air minum, ibunya dan Mami terlihat sudah mencairkan suasana dan sedang mengobrol akrab.

"Saya maunya Sasa nikah sederhana aja Bu, nggak perlu terlalu diramaikan soalnya dua saudaranya yang lain udah rame-ramean," ucap Ibu pada Mami. "Sebelumnya, saya sama Sasa juga sudah sepakat soal ini, karena kami tinggal berdua saja. Saudara kandung atau sepupu saya juga tidak terlalu bisa diharapkan bantuannya karena mereka punya urusan masing-masing. Kalau misalnya mau ada acara, kakak atau adiknya Sasa juga nggak bisa bantu banyak karena sudah berkeluarga masing-masing."

"Ya mana boleh kayak gitu tho, Jeng Yuni," ucap Mami menggebu-gebu. "Kemarin Mas Yaka bilang Mbak Sasa mau adat Solo Putri buat nikahannya. Saya kira mau full adat gitu."

"Maksud saya Solo Putri tuh paesnya aja, Mi," ucap Sasa. Ia meletakkan dua gelas air minum ke hadapan Mami dan Pak Husein. Ia masih belum terbiasa memanggil beliau dengan sebutan Papi karena mereka tidak seakrab kedekatannnya bersama Mami. "Waktu akad nikah. Sama mungkin bajunya kali ya, yang beda, dari kebaya akad nikah yang biasa. Kebaya masing-masing adat pengantin kan tidak sama."

Jodoh di Tangan Bu RTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang