"Manakah dari tiga kategori ini yang kamu banget: Optimis, Realis, atau Pesimis?" tanya Sasa, kembali mengerjakan daftar periksanya dengan tekun ketika mereka berdua sudah di dalam kereta dan kini sedang melaju secara stabil menuju stasiun berikutnya. Yaka sedikit bersyukur dengan adanya daftar tersebut membuat mereka jadi tidak pernah kehabisan topik obrolan, setiap kali butuh bahan pembicaraan.
"Realis, kayaknya," gumam Yaka lirih. "Maksudku, selain dengan Mbak Sasa, aku enggak pernah bermimpi yang terlalu tinggi sampai-sampai nggak bisa digapai."
Sasa menonjok lengannya pelan, "Apaan, sih. Emangnya aku kenapa?"
"Mbak Sasa dengar sendiri lho, mulai budeku, mamiku, sampai adikku meragukan kalau aku bisa ngedapetin Mbak Sasa. Mami bahkan nuduh aku pakai pelet saking nggak percayanya anak beliau yang satu ini akhirnya menemukan seseorang yang mau dinikahi."
Sasa tertawa lirih mendengar alasannya. "Masa sih? Mas Yaka ganteng kok. Teman sekantorku aja sampai nanya, aku nemu Mas Yaka dari mana. Emangnya, selain yang kemarin, pengalaman punya pacar berapa kali?"
"Cuma satu itu."
Sasa membelalakkan matanya yang indah, "Serius? Kamu yang terlalu pemilih apa-"
"Nggak gitu, Mbak," sergah Yaka cepat. "Lebih ke, kalau nggak suka-suka banget sama orangnya, aku nggak mau mendekati dia kalau alasannya cuma sepele."
Sasa kini memicingkan mata. Yaka suka sekali wajahnya yang ekspresif, tidak ada yang ditutup-tutupi. "Alasan sepele itu kayak apa?"
"Rasa penasaran," jawab Yaka singkat.
Pada saat bersamaan, dua orang petugas restorasi kereta melintas di samping mereka untuk menjajakan makanan. Sasa memesan segelas teh hangat, sementara Yaka memesan mie instan dalam gelas rasa ayam bawang. Yaka menawari Sasa untuk pakai jaketnya, sebab saat tangan mereka tak sengaja bersentuhan waktu berebut membayar, ia merasakan betapa dingin jemari Sasa. Sasa menerima jaketnya dengan senang hati.
"Penasaran pengin ngedapetin seseorang, terus kalau udah dapet perasaannya dimainin?" gumam Sasa seraya menghela napas panjang. "Kayak kenal, deh."
"Keinget seseorang?" tanya Yaka. Ia julurkan tangan untuk mengusap kepala kekasihnya pelan. "Mbak Sasa nggak perlu takut, aku bukan orang kayak gitu. Mamiku sangat keras ke anak-anak laki-lakinya, berharap dengan begitu kami nggak akan main-main sama perempuan. Di keluarga beliau lebih banyak anak laki-laki ketimbang perempuan, jadi para ibu-ibu kompak mendisiplinkan kami dengan keras. Buktinya, sepanjang aku hidup, nggak pernah ada ceritanya sepupu-sepupuku menghamili perempuan di luar nikah, atau dilabrak dua perempuan karena ketahuan main belakang. Kenapa dari dulu aku nggak punya banyak pacar, karena aku cuma cari yang cocok di hati. Yang bikin ayem, enggak banyak berantem. Aku suka Mbak Sasa nggak cuma karena Mbak Sasa cantik atau jago bikin kue, tapi aku lihat Mbak Sasa dari jauh aja udah bikin hatiku damai."
Sasa mendengkus, ia buang muka untuk menatap ke luar jendela, namun Yaka tahu jika kekasihnya diam-diam menyeka sudut-sudut matanya yang basah. Yaka menyodorkan tisu untuk Sasa yang disambut dengan baik. Alangkah menariknya, seseorang yang hatinya telah dilukai berkali-kali jika dipertemukan dengan seseorang yang tidak ingin menyakiti perasaan seorang wanita. Mereka terlihat sepadan, namun belum tentu melengkapi satu sama lain. Luka di hati Sasa hanya dia yang bisa menyembuhkan sendiri. Begitu pula Yaka, tak perlu berusaha terlalu keras untuk membuktikan kalau dia orang baik. Yaka kini mengerti mengapa Sasa minta waktu dua tahun.
"Oh, terima kasih, Mbak," ucap Yaka pada pramugari yang mengantarkan pesanan mereka. Sasa menerima tehnya dengan dua tangan karena masih cukup panas, sementara Yaka membuka bungkus mie instannya hingga sepenuhnya terlepas agar cepat dingin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh di Tangan Bu RT
RomanceAda sebuah pepatah mengatakan, 'the way to a man's heart is through his stomach'. Cara mengambil hati seorang pria adalah lewat makanan. Namun, Sasa tidak percaya dengan pernyataan tersebut. Sabria Maharani, perempuan lajang di usia kepala tiga, su...