Yaka menjemput kepulangan kedua orang tuanya yang membawa serta Sasa di stasiun Solobalapan tiga puluh menit lebih awal dari yang dijadwalkan. Bukan karena takut terjebak macet atau khawatir kena omel maminya kalau dia sampai terlambat datang, namun Yaka sudah tidak sabar untuk segera bertemu dengan kekasihnya. Kesempatan bertemu yang hanya sekali dalam sebulan itu kini dirasa kurang cukup baginya, sebab semakin ia mengenal Sabria lebih jauh, rasa cinta dan kekagumannya pada gadis tersebut kian membuncah. Padahal sepanjang perjalanan dari Surabaya ke Surakarta ia tidak henti-hentinya berbalas pesan dengan Sasa, namun interaksi tersebut tidak juga cukup untuk membendung rasa rindu dalam dirinya.
Setelah menunggu beberapa lama dalam kebosanan, terlihat dari kejauhan sosok pasangan orang tua dan anak perempuan familier yang berjalan menuju tempat mobil Yaka terparkir. Dengan sigap, Yaka segera menghampiri mereka bertiga untuk bantu membawakan tas koper, serta barang-barang lain. Saat Yaka sudah dekat dengan rombongan kecil tersebut, barulah ia menyadari jika bapak dan ibunya sedang asyik mengobrol dengan penumpang lain yang mungkin duduk di satu kursi berdekatan dengan mereka. Perjalanan dari Surabaya ke Solo memakan waktu kurang lebih lima jam. Jika tidak ada teman mengobrol, tentu akan terasa membosankan.
"Yo wis, Cah Ayu, Bude doakan semoga lancar rencana pernikahannya. Sungkem sama Ibu Bapak biar laki-laki yang ini benar-benar jodohmu yang terbaik."
"Oh, ya jelas Bu," jawab Mami dengan jemawa. "Calon manten kakungnya saya yang seleksi sendiri kok. Kalau ada apa-apa sama anak wedhok saya, nanti saya sendiri yang turun tangan langsung."
Wanita paruh baya kenalan Mami itu tergelak mendengar ucapan beliau."Beginilah Jeng, kalau punya anak perempuan. Harus ngati-ati nemen kalau sudah waktunya dia cari pasangan. Kudu cari yang mapan, biar anak gadis yang kita besarkan dengan memberikan hal terbaik yang kita punya, nggak diajak hidup susah sama suaminya. Harus cari juga yang akhlak dan ibadahnya baik, supaya rumah tangga mereka nanti damai, tentrem, pasrah dumugi Gusti Allah."
Obrolan tersebut terputus karena kedatangan Yaka. Ibu-ibu berkerudung tersebut memandang Yaka dengan cermat dari atas ke bawah lalu mengangguk pelan. Yaka jadi secara sadar memeriksa pakaiannya sendiri. Untung saja ia mengenakan kemeja berkerah, celana panjang bahan kain, dan sepatu kulit pantofel yang ditukar oleh Yasa. Sebab ukuran kaki mereka sama, dan sepatu ketsnya dipinjam sang adik untuk acara outbond di kantor selama akhir pekan ini, jadi dia memakai sepatu sang adik.
"Calonnya Mbak Sasa Mas ini tho? Ganteng ya, pinter maminya milih jodoh buat anaknya. Dijaga ya Mas, calon istrinya. Dia ke mana-mana aja dikawal sama Mami dan Papi. Ya sudah, saya juga mau pamit, ini pesanan taksi saya akhirnya nyantol juga, dari tadi ditolak terus."
"Anu, ngapunten Bu," ucap Yaka tiba-tiba. Mungkin karena dia baru saja dipuji ganteng oleh beliau, sehingga ia ingin balas budi. Atau, sebab ia penasaran mengapa Sasa dianggap anak kandung Mami sedangkan dia tidak? Apakah tidak terlihat kemiripan antara dia dan Mami atau Papi? "Apa mau sekalian sareng kulo, nanti saya antar sampai rumah?"
"Ndak usah, Mas Ganteng. Rumah Bude jauh, sudah malam juga. Ibu dan bapaknya Mbak Sasa pasti butuh istirahat juga."
Mendengar tawaran Yaka, Mami memicingkan mata, seolah penasaran dengan alasan anak laki-laki yang tidak biasanya menawari orang lain tumpangan pulang. Namun, sebagai ibu yang suportif pada anak-anaknya, beliau memutuskan untuk mengikuti keinginan Yaka.
"Bisa di-kensel toh ojek mobilnya?" tanya Mami. "Njenengan pulang ke mana, tho Jeng? Kalau searah, bareng aja ndak pa-pa. Calon mantu saya memang gemati sama ibu-ibu dan perempuan. Makanya, Mbak Sasa mau nikah sama dia."
"Griyo kulo dateng Pasar Kliwon. Mboten usah, pun. Saya biasa naik taksi onlen kok." Sesekali pandangan beliau tertuju ke layar ponsel dalam genggamannya. "Saya duluan ya Jeng, Mbak Sasa, Bapak, Mas. Pareng rumiyin. Sampai ketemu lagi lain waktu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh di Tangan Bu RT
RomanceAda sebuah pepatah mengatakan, 'the way to a man's heart is through his stomach'. Cara mengambil hati seorang pria adalah lewat makanan. Namun, Sasa tidak percaya dengan pernyataan tersebut. Sabria Maharani, perempuan lajang di usia kepala tiga, su...