24. Anak Mami

1.4K 300 15
                                    

Mami Nayaka, Bu Aisyah, adalah seorang wanita yang hangat. Begitu mendengar derum mesin mobil Nayaka mendekat, beliau langsung menyambut di depan pagar dengan tergopoh-gopoh, padahal sekarang menjelang tengah malam. Suasana kampung tempat Nayaka tinggal yang asri, mungkin terlihat agak seram karena gelap, namun Sabria yakin besok pagi pemandangannya akan indah.

"Assalamualaikum, Tante," sapa Sabria saat bertemu pertama kali dengan Bu Aisyah. "Saya Sabria, pacarnya Mas Yaka."

Bu Aisyah mengibaskan tangan seolah melarangnya memanggil 'tante', lalu menarik Sabria dalam pelukannya yang hangat.

"Waalaikumsalam, Cah Ayu," balas beliau. "Panggil Mami aja nggak apa-apa, biar sama kayak Mas Yaka. Ayo, ayo, masuk, pasti capek habis perjalanan jauh."

Di dalam rumah, sudah disiapkan segelas teh hangat dan beberapa jenis jajan tradisional, seperti serabi, bubur kacang hijau, dan semar mendem. Rumah keluarga Nayaka hampir dua kali lebih luas dari rumah ibunya di Surabaya, jadi Sabria bisa memperkirakan seberapa kaya mereka.

"Diminum dulu, Cah Ayu, buat ngangetin badan. Di luar dingin, ya?"

Meski cuaca saat siang hari begitu terik menyengat, namun suhu udara saat malam hari di sini cukup dingin jika dibandingkan Surabaya. Mungkin karena di sini masih banyak vegetasi alam yang menambah kesan sejuk, atau memang letaknya lebih tinggi dari pada Surabaya yang dataran rendah.

"Lumayan," jawab Sabria. Ia menerima teh hangatnya dengan dua tangan lalu menyesap perlahan. Rasa manis langsung mengisi seluruh rongga mulutnya kemudian menyebarkan rasa hangat ke sekujur tubuh. Nayaka menyusul tidak lama kemudian, ia membawakan koper Sabria dan kantong kertas berisi oleh-oleh untuk Bu Aisyah dan kakak perempuan Nayaka satu-satunya. Tadinya, Nayaka langsung nyelonong masuk ke bagian rumah yang lebih dalam, namun Sabria mencegahnya. "Mas, tunggu."

Sabria meletakkan cangkir tehnya, lalu menghampiri Nayaka. Ia mengambil kantong kertas dari tangan Nayaka lalu Nayaka melanjutkan perjalanan untuk menaruh barang-barang bawaan Sabria di kamarnya, sementara Sabria menyerahkan hadiah tersebut pada Bu Aisyah.

"Tante, ini ada sedikit oleh-oleh dari saya," kata Sabria pada Bu Aisyah. Beliau tampak terkejut melihat betapa mewahnya kemasan tersebut.

"Apa ini, Nduk? Nggak usah repot-repot, Cah Ayu, pakai ngasih segala." Bu Aisyah mengintip ke dalam kantong kemudian mengeluarkan salah satu kotak dari sana. "Kok banyak banget ada dua?"

"Oh, satunya buat Mbak Kinanti. Mas Yaka bilang kalau dia punya satu kakak perempuan, dan kebetulan kantor tempat saya kerja hendak merilis produk baru, jadi biar Tante dan Mbak Kinanti punya barangnya lebih dulu sebelum dilepas ke pasaran."

"Masya Allah, Tabarakallah," Bu Aisyah mengeluarkan tas jinjing wanita berbentuk bucket bag berbahan kulit asli dengan lapisan dalam kain batik tulis bermotif wahyu tumurun yang masih terbungkus dust bag. "Cantik sekali. Ini bisa dipakai pengajian, ya? Muat diisi Al-Qur'an kayaknya. Muat banyak ini, cocok buat emak-emak kayak Mami yang bawaannya banyak kalau pergi-pergi."

"Bisa, Tante," jawab Sabria. Hatinya berbunga melihat pancaran kebahagiaan di wajah Bu Aisyah saat melihat hadiah yang sudah ia persiapkan dan pikirkan secara matang.

Rasa penasaran membuat beliau membuka  kardus yang satu lagi untuk melihat isinya. Sebuah satchel bag berbahan kulit terletak di dalamnya. Kali ini, tas tersebut dilapisi oleh kain bermotif sekar jagad, yang melambangkan kecantikan untuk pemakainya.

"Oh, yang ini modelnya anak muda banget," puji beliau. "Terima kasih ya, Mbak Sasa. Mbak Anti pasti seneng banget dikasih tas sebagus ini."

"Sama-sama, Tante. Syukurlah kalau Tante suka. Saya bingung mau—"

Jodoh di Tangan Bu RTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang