32. Anak Perempuan Papi

1.6K 263 15
                                    

Saat pagi ini Sabria terbangun, rumah besar Mami dalam keadaan kosong melompong. Nayaka sepertinya masih di rumah keluarga maminya di kecamatan lain, sementara Ilyasa ada acara di kantornya dan baru pulang hari Minggu pagi. Mami mungkin sedang belanja di pasar atau berkumpul di Pusat Transfer Data alias tukang sayur keliling dengan ibu-ibu lain untuk bergosip. Sabria menuruni anak tangga dari kamar Nayaka, kemudian berjalan ke luar menuju sepetak area kebun di bagian belakang rumah, melalui samping garasi. Ada Pak Husein di sana, sedang menyiram tanaman. Seolah menyadari keberadaan orang lain di sana atau memang suara langkah kakinya terdengar oleh beliau, Pak Husein seketika menghentikan kegiatannya.

"Nduk," sapa beliau."Baru bangun?"

Sabria mengangguk, "Iya, Pak."

"Ngapain ke luar? Nggak dingin kok nggak pakai jaket?"

Sabria menggeleng, "Saya nggak nyalain AC kamarnya Mas Yaka kok, Pak, Jadi, nggak dingin. Di sini enak hawanya kalau malam sejuk. Mungkin karena masih banyak pepohonan ya."

"Tadi sebelum belanja, Mami bikin teh buat kamu. Sudah diminum?"

Sabria mengernyitkan kening. "Buat saya? Di dapur?"

Pak Husein terkekeh geli. "Tadinya Mami mau nyelonong masuk ke kamar kamu buat taruh tehnya, tapi Bapak bilang nggak sopan masuk-masuk kamar anak gadis nggak izin dulu, akhirnya Mami titip pesan ke Bapak, deh. Masuk aja ke rumah, Nduk, tehnya diminum, nanti keburu dingin."

"Nanti saja, Pak. Di dalam juga sepi, jadi saya cari udara segar di sini." Sabria menarik napas dalam-dalam, menghidu aroma tanah basah sebab baru saja disiram. la mengerti mengapa Nayaka betah sekali tinggal di sini alih-alih pergi merantau ke kota lain seperti kebanyakan anak muda dari daerah. "Saya bisa bantu apa, Pak? Cabut rumput liar?"

Pak Husein terkekeh. "Nggak usah Mbak, nanti tangannya kotor. Itu tugas anak laki-laki. Nanti kalau masmu pulang biar dia yang kerjakan." Kemudian beliau menyibukkan diri untuk menggulung selang bekas menyiram tanaman Pada saat inilah, Pak Husein menyadari jika Sabria keluar rumah dalam posisi bertelanjang kaki.

"Lho, Nduk, sampeyan kok ndak pakai sendal?" tanya beliau. Sabrina menunduk menatap kakinya sendiri lalu menyeringai.

"Saya lupa bawa sandal, Pak. Kemarin saya ke sini pakai sepatu kets," jawabnya. "Nggak apa-apa kok Pak, saya biasa--"

"Itu di rak banyak sendal kok. Pakai aja sendal jepitnya Yasa atau Mas Yaka. Jangan nggak pakai sandal, takutnya kena paku atau beling." Pak Husein melepas sandal yang beliau kenakan, kemudian memaksa sabria untuk memakainya. Dengan terpaksa, Sabria menuruti perintah beliau untuk pakai sandal. Pak Husein mengembalikan selang ke tempatnya semula sambil mengambil sandal yang lain untuk beliau.

"Ayo, jalan-jalan sebentar, Bapak tunjukkan tanaman apa aja di sini," ajak Pak Husein. Beliau menenteng sebuah keranjang rotan di tangan. Sabria mengikuti beliau dengan patuh. la diajak berkeliling kebun di belakang rumah Mami yang luasnya mungkin setara sepetak rumah ibunya di Surabaya. la ditunjukkan macam-macam tanaman yang tumbuh subur di sana, mulai dari serumpun singkong, pohon nangka yang usianya setua Nayaka sebab pohon tersebut mulai ditanam oleh Pak Husein sejak Mami ketahuan sedang mengandung Nayaka. Kata Pak Husein, buahnya yang bergelantungan di 6 titik berbeda itu baru akan masak sekitar 2 atau 3 minggu lagi, jadi bulan depan kalau Sabria datang lagi ke Solo, ia baru bisa menikmati buahnya. Ada juga pohon jambu air yang buahnya sangat lebat. Pak Husein mengisi keranjangannya hingga penuh untuk Sabria. Karena letak dahannya yang rendah, jadi beliau tidak perlu memanjat pohon untuk bisa memetiknya. Melihat anak kota seperti Sabria yang sangat antusias melihat buah-buahan langsung dari pohonnya, Pak Husam mengajak Sabria ke tempat pemberhentian terakhir mereka, yaitu pohon mangga.

Jodoh di Tangan Bu RTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang