Sabria tiba di kantor pagi itu dengan perasaan sedikit rindu karena hampir seminggu libur kerja. Ia membawakan strawberry shortcake untuk buah tangan Bu Amalia dan muffin keju buat teman-teman sekantornya yang berjumlah kurang dari tiga puluh orang. Glamela, perusahaan startup yang didirikan oleh Bu Amalia Tan dan kakak laki-lakinya, Pak Albert Tan, bergerak di bidang bisnis pakaian. Mereka membeli kain-kain batik dari pengrajin lokal dengan harga yang masuk akal, lalu mengolah menjadi pakaian atau barang lain seperti tas, mukena, serta tote bag. Karena perusahaan ini berkonsep luxury brand, jadi setiap produk digarap secara manual tanpa mesin konveksi dengan jumlah terbatas dan diperlakukan dengan penuh kehati-hatian.
Sejak berdiri lima tahun lalu hingga sekarang, jenama ini perlahan-lahan mengambil hati pasar dan telah memiliki beberapa pelanggan tetap. Salah satunya yang paling terkenal adalah istri gubernur yang mantan artis dan sekarang sibuk mendukung kegiatan sang suami. Beberapa selebriti dan pemengaruh dari Jawa Timur juga sering kali menjadikan kantor Sabria untuk tempat ngonten saat mereka fitting pakaian.
"Pagi Mbak Sasa," sapa Pak Rahmat, petugas keamanan di Glamela. "Ibu belum sampai, Mbak."
"Pagi juga Pak Rahmat," Sabria mengerutkan kening. "Tumben Ibu telat?"
Jam masuk kerja mereka adalah pukul sembilan, namun biasanya sejak jam tujuh pagi Bu Amalia sudah tiba untuk mengecek kualitas pakaian yang disetor penjahit mereka setiap harinya secara langsung. Wanita yang berumur kepala empat itu sangat perfeksionis soal urusan pekerjaan. Mungkin karena beliau butuh distraksi besar sehingga mencurahkan segenap energi ke Glamela setelah kematian putrinya karena kanker darah, atau memang bagi Bu Amalia, Glamela sudah dianggap seperti anak sendiri.
Sabria melewati lorong display produk di lantai dasar dan lantai satu gedung kantornya, lalu naik ke lantai 3A menuju ruangannya. Lantai 3 dikhususkan untuk para penjahit dan pengrajin yang direkrut Bu Amalia dalam membuat produk, sehingga lebih mudah juga bagi beliau untuk melakukan supervisi jika diperlukan. Terutama kalau sedang mempersiapkan untuk produk keluaran terbaru.
"Good morning baddie!" sapa rekan kerjanya Rara yang berpapasan dari arah dapur sambil membawa secangkir kopi. Ia selalu menyapa semua orang--kecuali Bu Amalia dan Pak Albert tentu saja--dengan sebutan 'baddie' karena ia seorang gen z yang chronically online dan sedikit fomo dengan penggunaan istilah-istilah kekinian. Tidak terkecuali terhadap Mas Farid dan Pak Hadi, meski mereka berdua laki-laki.
"Baru kamu yang datang?" tanya Sabria. Ia meletakkan kardus besar berisi muffin di meja bersama pada bagian tengah ruangan yang sekaligus difungsikan untuk meja rapat jika Bu Amalia ingin mengumpulkan mereka semua untuk evaluasi.
"Aku sama intern," jawab Rara. Sabria celingukan mencari keberadaan Diandra, si intern. Setiap tahun, Bu Amalia memang membuka satu lowongan untuk anak magang di tempatnya, meski hanya digaji setengah dari UMR. Namun, masuknya surat lamaran menjadi anak magang di Glamela justru dari tahun ke tahun semakin meningkat. Barulah dari Diandra Sabria tahu jika di tempat-tempat lain anak magang bahkan tidak mendapatkan gaji.
"Mana anaknya?"
"Lagi ke warung depan beli mie instan. Kasihan, dia tadi ke sini motornya mogok. Laper kayaknya harus dorong motor matik ke bengkel." Pandangan Rara yang sejak awal terkunci pada barang bawaan Sabria, kini tidak bisa digoyahkan lagi. "Apa nih, Mbak? Boleh dibuka?"
"Buka aja," ucap Sabria. Sambil menunjuk kotak yang lebih kecil, ia mengatakan, "Yang ini jangan ya, buat Bu Amel."
"Wah, ini strawberry shortcake yang dari Jepang itu ya?" seru Rara sambil mengintip ke dalam kotak yang dilarang dibuka. Begitulah jika mengobrol dengan para gen z, semakin dilarang, semakin dilakukan. Sabria memutar bola mata mendengarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh di Tangan Bu RT
RomanceAda sebuah pepatah mengatakan, 'the way to a man's heart is through his stomach'. Cara mengambil hati seorang pria adalah lewat makanan. Namun, Sasa tidak percaya dengan pernyataan tersebut. Sabria Maharani, perempuan lajang di usia kepala tiga, su...