5. Sumpah, Bukan Stalker!

2.2K 406 46
                                    

Yaka mengetuk-ngetukkan ponsel ke keningnya dengan geram sambil menggumam 'bodoh bodoh bodoh bodoh' berkali-kali. Bagaimanapun juga, nasi sudah menjadi bubur. Pesan pribadi yang dikirim lewat Twitter tidak bisa ditarik kembali atau diedit. Mungkin sekarang Mbak Sasa sudah membaca pesannya dan jadi begidik ngeri melihat cara Yaka memanggilnya.

Padahal sudah benar di awal ia menyebut dengan 'Mbak Baron', tetapi mengapa di akhir berubah menjadi 'Mbak Sasa'? Bagaimana dia harus menjelaskan soal ini tanpa menimbulkan kesalahpahaman lebih jauh lagi? Menghubungi seseorang secara berulang dalam beberapa hari mungkin masih bisa dimaklumi, terutama karena berkaitan dengan bisnis. Namun, menyebutkan identitas seseorang yang belum berkenalan dengannya, terdengar mengerikan seperti penguntit.

"Nyapo toh Le, isuk-isuk kok wis nggrundel?" tanya budenya yang menghampiri ruang tengah sambil membawa sepiring singkong goreng. Yaka menyambar sepotong lalu menggigit besar-besar hingga mulutnya penuh.

Seperti biasa jika berlebaran di rumah neneknya dari pihak ibu, mereka selalu menginap beramai-ramai. Meski bapak dan ibunya sudah pulang ke rumah mereka, tetapi Yaka masih menginap di sini sebab masih ramai oleh saudara sepupu yang lain dan keponakan. Sehari-harinya, rumah ini dirawat oleh saudara ibunya yang paling bungsu, Paklik Sugeng dan istri, serta anak ke-3 dan ke-4 mereka yang masih melajang. Jika bukan saat hari raya, tentu tidak akan seramai sekarang.

"Mboten, Bude," jawab Nayaka lirih. Sempat terlintas apa sebaiknya dia mengaku saja pada Mbak Sasa ya, daripada menimbulkan kesalahpahaman? Jika dia mengaku sebagai keponakan Bu Aminah mungkin saja Mbak Sasa akan memaklumi dari mana dia bisa keceplosan menyebut namanya.

Melihat gelagat anak adik perempuannya, Bu Aminah yang sejak kemarin menyadari keanehan tersebu tiba-tiba berceletuk, "Kowe wis nduwe pacar toh? Kok dari kemarin ribet sama hape teros."

"Oh, dereng kok, Bude!" Yaka gelagapan dituding begitu. "Mau punya pacar dari mana, wong saya kerja, kerja, kerja terus."

Bu Aminah semakin curiga melihat sikap defensif Yaka. Justru karena beliau tahu keponakannya itu sehari-hari bekerja sebagai Application Developer dengan gaji menyentuh angka delapan digit setiap proyeknya, makanya ia jarang pakai gawai secara terus-menerus. Namun, kali ini beliau tidak ingin mendesak keponakannya tersebut. Mungkin masih baru pendekatan, pikir Bu Aminah. Sayang sekali, seandainya Yaka belum ada gebetan, beliau ingin memperkenalkannya pada Mbak Sasa, sebab yang beliau tahu gadis itu masih jomlo juga.

Setiap kali ada kesempatan, Bu Aminah selalu berusaha membuat data statistik anak-anak gadis mana saja di RT-nya yang masih melajang dan mana yang sudah memiliki calon. Hal ini penting agar beliau bisa membantu meluruskan jika ada warga bergosip yang tidak-tidak mengenai anak-anak gadis tersebut, atau membantu mencarikan jodoh bagi mereka setiap ada kesempatan.

Sejauh ini, sudah dua orang gadis yang berhasil Bu Aminah bantu untuk mencari pasangan. Meski angkanya kecil, tetapi beliau memegang rekor tertinggi dibanding ibu-ibu istri kepala RT sebelumnya. Pertama, Mbak Danila dan dokter puskesmas Mas Fandi yang rutin datang saat puskesmas lansia pada minggu ke-3 setiap bulan ke balai desa. Beliau bahkan diundang menjadi terima tamu saat resepsi pernikahan mereka di gedung serbaguna. Yang kedua, dan baru-baru ini mengadakan lamaran, adalah Mbak Tantri, anak almarhum Pak Syafi'i, dengan anak teman pensiunan Pak RT, Mas Ubaid. Mereka hanya berkenalan selama beberapa bulan, tetapi sudah mantap melangkah ke jenjang yang lebih serius. Bahkan nanti kalau Mbak Tantri menikah, akan ada prosesi pedang poranya sebab si calon suami adalah seorang perwira muda.

Dari profil-profil gadis lajang di RT-nya, hanya Mbak Sasa-lah yang membuat Bu Aminah sedikit ketar-ketir. Masalahnya, mantan pacar Mbak Sasa, menurut penuturan Bu Yuni, ibunya Mbak Sasa, sedang kuliah S3 di Australia saat mereka putus. Bu Aminah tidak bisa membayangkan sepintar apa orang yang kuliah sampai S3, di luar negeri pula. Beliau hanya tahu seorang pemuda yang kuliah sampai S2 saja, itupun keponakannya sendiri yang jarang bergaul dengan orang lain. Bisa dimaklumi mengapa Mbak Sasa sukanya orang yang pintar, sebab dia sendiri kuliah sampai S2 juga. Waktu wisudanya tiga tahunan lalu, Bu Yuni bagi-bagi nasi kardus untuk syukuran kelulusan Mbak Sasa, jadi Bu Aminah tahu seberapa tinggi tingkat pendidikannya.

Jodoh di Tangan Bu RTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang