Ketika mobil yang dikendarai Yaka telah berhenti tepat di depan rumah keluarga Sasa, barulah ia mulai dilanda rasa gelisah hingga berkeringat dingin. Bagaimana ia bicara pada ibunya Sasa nanti? Mereka berdua sudah sama-sama cukup umur dan setiap orang tua akan bertambah kekhawatiran terhadap jodoh anak mereka semakin lama. Jika diminta melamar Sasa secepatnya, tentu ia akan menyanggupi perintah tersebut. Namun, apakah Sasa nanti berkenan menikah dengan orang yang baru dua minggu dikenalnya?
Melihat Yaka yang mematung di balik kemudi, Sasa menggenggam jemari Yaka yang terasa dingin seperti es, lalu mengusap punggung tangannya perlahan.
"Nggak usah takut, nggak bakal disuruh nikah besok kok sama ibuku," hiburnya. "Ayo turun, aku masakin."
Yaka membantu Sasa mengeluarkan koper dari bagasi dan beberapa oleh-oleh khas Solo yang mereka beli saat jalan-jalan. Sasa membuka pagar rumah, mempersilakan Yaka masuk ke halaman rumah.
"Kamu pergi dua hari kopernya gede amat kayak jamaah umrah," ucap Yaka. "Emangnya, bawa apa aja, Mbak?" Yaka buru-buru menutup mulutnya karena tersadar jika pertanyaan tersebut mungkin terdengar tidak sopan, tetapi Sasa tampaknya tidak tersinggung ditanya begitu.
"Habisnya, aku bingung bawa baju warna apa biar matching sama warna baju kamu." Sasa mendorong pintu depan, namun tertahan. Alisnya mengkerut, "lho, kok dikunci?"
"Eh? Mbak Sasa dihukum ibunya?" tanya Yaka panik. Namun, Sasa malah tertawa. Ia merogoh tas tangannya untuk mencari kunci, lalu membuka sendiri pintu tersebut.
"Aku bukan anak SMA lagi yang bisa ditakut-takuti pakai dikunciin pintu kalau main kemalaman," ucapnya. "Lagi pula, sekarang masih kurang dari jam setengah tujuh malam. Ini bahkan lebih sore dari jam malamku dulu waktu masih sekolah, jam delapan. Ibu mungkin lagi ada pengajian, biasanya juga gitu kalau tetangga ada acara hajatan, memperingati hari khusus seperti Isra Miraj, atau ada yang meninggal."
"Ooh, kukira Mbak Sasa pergi ke Solo nggak pamit, makanya dikunciin."
Sasa mendorong pintunya hingga terbuka lebar, lalu mempersilakan Yaka masuk. Ruang tamunya tidak seluas ruang tamu di rumah Yaka. Bisa dimaklumi, sebab rumah di kota memang lebih kecil dari pada rumah desa. Namun, ruangan tersebut tampak rapi minimalis, dengan sedikit perabotan dan warna dinding yang polos. Berbeda dengan dinding ruang tamu di rumah Yaka yang dicat ungu muda sebab maminya penggemar warna ungu.
"Duduk, Mas Yaka, mau minum apa? Kopi? Selama kita jalan, aku nggak pernah lihat Mas Yaka ngopi."
"Aku memang nggak terlalu suka ngopi kalau nggak kepepet, Mbak," sahut Yasa. "Air putih aja nggak apa-apa, biar sehat."
Sasa mendengkus geli mendengar ucapan tersebut. Jika Yaka seseorang yang bicara dalam bahasa satire, mungkin Sasa akan merasa jika Yaka sedang membalik ucapannya tadi siang, tentang keinginan memiliki suami yang tidak sakit-sakitan. Namun, Yaka selalu berbicara dengan lugas dan apa adanya, sebab itu Yaka yakin jika Sasa tidak akan salah sangka terhadapnya.
"Oke, aku ganti baju dulu ya, nanti baru aku masakin."
Sasa beranjak ke dapur, mengisi gelas dengan air putih dari galon, lalu kembali ke ruang tamu, meletakkan minuman tersebut ke hadapan Yaka. Pria tersebut tampak gelisah di tempat duduknya, karena beberapa kali melihat jam dinding.
"Mas Yaka kenapa? Mau ke toilet? Sini aku tunjukkan tempatnya."
"Numpang salat sekalian boleh? Di mana aja bebas, asalkan jangan kamarnya Mbak Sasa."
"Oh, bisa. Di ruang tengah aja ya, Mas. Aku siapin sajadahnya di sana."
Yaka mengikuti Sasa masuk lebih dalam ke rumahnya. Ia ditunjukkan letak kamar mandi yang dekat dengan dapur, lalu ruang tengah tempat salat, di mana ada televisi layar datar terpasang di dinding dan lantai beralas karpet tanpa sofa atau kursi. Hanya ruang nonton tivi sambil goler-goler saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh di Tangan Bu RT
RomanceAda sebuah pepatah mengatakan, 'the way to a man's heart is through his stomach'. Cara mengambil hati seorang pria adalah lewat makanan. Namun, Sasa tidak percaya dengan pernyataan tersebut. Sabria Maharani, perempuan lajang di usia kepala tiga, su...